LP3ES: Pasal Penghinaan Presiden Rentan, Bagaimana Bedakan Kritik dan Hinaan?
LP3ES menilai pasal penghinaan presiden rentan salah tafsir dan disalahgunakan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pasal penghinaan kepada Presiden yang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai cenderung rentan mengalami salah tafsir.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES, Milda Istiqomah, mengungkapkan pasal penghinaan terhadap Presiden masih banyak menyisakan persoalan sejak dibahas pada 2019.
Meskipun sudah dijelaskan oleh pemerintah bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan dan mengurangi kebebasan berpendapat untuk mengajukan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
"Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden," kata Milda dalam risalah diskusi yang dikutip Republika.co.id pada Selasa (11/7/2022).
Milda menyebut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 bisa menjadi dasar hukum yang digunakan untuk mengkritisi pasal penghinaan kepada Presiden. Sebab putusan itu telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Di salah satu dasarnya MK berpendapat bahwa pasal ini berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan," ujar Milda.
Selain itu, Milda mempertanyakan pasal 352 tentang Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara dalam RKUHP. Dia menduga pasal tersebut berpeluang disalahgunakan guna menyerang pengkritik Pemerintah.
"Bagaimana membedakan kritik, penghinaan? Itu sangat kabur. Pasal 352 itu bisa dijadikan alat untuk melindungi pejabat-pejabat dari orang atau kelompok yang mengkritik pemerintah," ucap Milda.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Prof Didik J Rachbini, menyayangkan praktik pembajakan demokrasi yang dilakukan pelopor dan pelaku demokrasi 1998. Salah satunya dengan memasukkan pasal penghinaan kepada Presiden dalam RKUHP.
"Jadi setelah 1998 mereka buta dan melabrak apa saja, termasuk pasal penghinaan presiden. Sebenarnya pasal penghinaan presiden ada dalam hubungan pribadi-pribadi, ini diangkat-angkat ke dalam jabatan. Nanti mengkritik itu akan dianggap menghina. Jadi ini merupakan praktik anti-demokrasi yang sudah melingkupi seluruh sudut-sudut parlemen, aparat negara," tegas Prof Didik.
Prof Didik lantas mengajak segenap elemen bangsa agar merespons keresahan yang ditimbulkan dari RKUHP.
"Kelompok intelektual, akademisi tidak boleh diam melihat kondisi seperti ini. Kita harus sensitif dengan kondisi sekitar," ucap Prof Didik.