Sri Lanka Berlakukan Lagi Jam Malam di Kolombo
Tentara Sri Lanka diberi wewenang menggunakan kekuatan cegah aksi penghancuran.
REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Otoritas Sri Lanka akan memberlakukan kembali peraturan jam malam di ibu kota Kolombo hingga Jumat (15/7/2022) pagi. Tentara telah diberi wewenang untuk menggunakan kekuatan yang diperlukan untuk mencegah aksi penghancuran properti atau tindakan mengancam nyawa.
Situasi di Kolombo pada Kamis (14/7/2022) cukup tenang. Warga masih menunggu pengumuman pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa yang seharusnya terjadi pada Rabu (13/7/2022). Pada Rabu lalu, Gotabaya justru meninggalkan negara tersebut dan pergi ke Maladewa. Dari Maladewa, tokoh berusia 73 tahun itu dilaporkan melanjutkan perjalanannya ke Singapura.
Gotabaya telah menunjuk Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe sebagai pelaksana tugas presiden. Amanat itu mulai aktif berlaku Rabu lalu. Sebelumnya Wickremesinghe sempat menyatakan bahwa dirinya juga akan mundur sebagai perdana menteri.
Departemen Informasi Sri Lanka telah mengumumkan bahwa jam malam akan berlangsung mulai Kamis siang hingga Jumat pagi waktu setempat. Menurut juru bicara kepolisian Sri Lanka, satu orang tewas dalam bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan pada Rabu malam lalu.
Bentrokan pecah di dekat gedung parlemen Sri Lanka. Menurut media setempat, selain satu korban tewas, kejadian itu turut melukai sejumlah warga dan aparat keamanan. Pantauan pada Kamis pagi, para pengunjuk rasa telah mundur dari gedung-gedung pemerintah yang sebelumnya mereka duduki. Mereka memperkenankan otoritas Sri Lanka mengambil alih kembali tempat-tempat tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengungkapkan, dia terus mengikuti perkembangan situasi di Sri Lanka. "Penting bahwa akar penyebab konflik dan keluhan pemrotes ditangani. Saya mendesak semua pemimpin partai untuk merangkul semangat kompromi untuk transisi yang damai dan demokratis," kata Guterres lewat akun Twitter resminya, Kamis.
Pada akhir pekan lalu, ribuan warga Sri Lanka menyerbu dan menggeruduk kediaman resmi Gotabaya Rajapaksa. Peristiwa itu menjadi puncak frustrasi warga atas krisis ekonomi yang mencekik negara berpenduduk hampir 22 juta jiwa tersebut. Sebelum penyerbuan berlangsung, Gotabaya dan keluarganya berhasil dievakuasi.
Keberadaan Gotabaya sempat tak diketahui setelah peristiwa penyerbuan. Tak lama berselang setelah kediaman resminya digeruduk, Mahinda Yapa Abeywardana mengumumkan bahwa Gotabaya akan mundur sebagai presiden pada 13 Juli. “Keputusan untuk mundur pada 13 Juli diambil untuk memastikan penyerahan kekuasaan secara damai. Oleh karena itu, saya meminta masyarakat menghormati hukum dan menjaga perdamaian,” ucapnya, Sabtu (9/7/2022).
Saat ini Sri Lanka sedang dibekap krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Negara tersebut telah menghadapi gelombang demonstrasi sejak Maret lalu. Mereka menuntut perbaikan hidup dan reformasi pemerintahan. Pada Juni lalu, inflasi di Sri Lanka mencapai 54,6 persen. Angka itu diperkirakan bakal menyentuh hingga 70 persen dalam beberapa bulan mendatang.