Dituduh Buat Pagar Laut, Masyarakat Setempat tak Terima
Pihak Agung Sedayu menuding masyarakat yang membangun 'pagar laut'.
REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Sejumlah pihak menuding warga dan nelayan sendiri yang membangun pagar laut di perairan Tangerang. Warga menolak klaim yang mereka nilai tak masuk akal itu.
Di antara yang melayangkan dugaan itu adalah pihak pengembang PIK 2 Agung Sedayu Group (ASG). “Berita terkait adanya pagar laut itu (dikaitkan dengan pengembang PSN PIK 2) tidak benar,” kata Kuasa Hukum Agung Sedayu Group Muannas Alaidid kepada Republika, Sabtu (11/1/2025).
Menurut penuturan Muannas, berdasarkan informasi yang mereka ketahui, pembangunan pagar laut itu justru dibangun oleh masyarakat sekitar. Ia menyebutkan beberapa dugaan kepentingan warga sekitar dalam melakukan pembangunan pagar laut tersebut.
“Karena sebenarnya yang kami tahu itu merupakan tanggul laut yang terbuat dari bambu yang biasanya difungsikan untuk pemecah ombak, dan akan dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tambak ikan di dekat tanggul laut tersebut, atau digunakan untuk membendung sampah seperti yang ada di Muara Angke. Atau bisa jadi sebagai pembatas lahan warga pesisir yang kebetulan tanahnya terkena abrasi,” ungkapnya.
Muannas menyampaikan itulah beberapa kemungkinan yang terjadi, bahwa pemagaran laut berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat sekitar. “Itu adalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dan diinisiatif dan hasil swadaya masyarakat, yang kami tahu. Tidak ada kaitan sama sekali dengan pengembang karena lokasi pagar tidak berada di wilayah PSN maupun PIK 2,” ia menegaskan.
Dalih dari Agung Sedayu itu disangkal semua nelayan dan warga yang ditemui Republika di Tanjung Pasir dan Kronjo. “Ya dipikir saja, Mas. Masak nelayan mau bikin susah diri sendiri,” kata Adi, seorang nelayan di Tanjung Pasir. "Itu fitnah kejam," ia menegaskan.
Ia menuturkan, keberadaan pagar-pagar laut itu membuat susah semua nelayan. Mereka harus membeli solar lebih banyak untuk memutari pagar, misalnya. Selain itu, pagar-pagar laut juga dibangun di wilayah penjaringan ikan di tepian. Ini membuat nelayan penjaring kesulitan.
Di wilayah pemagaran yang dikunjungi Republika di Tanjung Pasir maupun di Kronjo, terlihat jelas perbedaan konstruksi pagar-pagar itu dengan bagan-bagan pemancingan maupun pembiakan kerang yang dibangun nelayan-nelayan.
Sementara konstruksi pagar laut, seragam dari Tanjung Pasir sampai ke Kronjo. Bagian luar pagar dibuat dengan susunan bambu, paranet, dan anyaman bambu. Karung-karung berwarna putih juga diletakkan di pagar utama di semua wilayah. Bahan-bahan dan konstruksi yang seragam itu mengindikasikan pagar laut dibangun pihak yang sama berpuluh-puluh kilometer.
Dulrasid, seorang nelayan dari Kronjo mengatakan pengerjaan pagar yang demikian masif tak mungkin bisa didanai masyarakat semata. Menurut dia, bambu-bambu yang diturunkan di Kronjo untuk membuat pagar laut pada akhir tahun lalu juga jumlahnya sangat banyak. “Warga di sini mana punya duit buat bikin macam begitu? Itu kalau panjang begitu kan miliaran,” ujar Dulrasid di pelelangan ikan Kronjo.
Sedangkan di Pulau Cangkir, Kronjo, Kabupaten Tangerang, jangan kata berinisiatif membuat pagar bambu, warga setempat bahkan tak boleh ikut mengerjakan. Seorang warga tempatan menuturkan, sempat ada sebagian anak muda yang ingin ikut membangun karena tergiur bayaran yang diceritakan para pekerja dari luar. “Tapi nggak boleh. Katanya harus punya truk dan perahu sama minimal sepuluh orang. Ya jadi warga di sini gigit jari saja,” kata warga yang berjualan di dekat lokasi pekerja pagar bambu berangkat.
Saat Republika menyambangi Pulau Cangkir pada Kamis (9/1/2025), masih ada sisa-sisa bambu yang tak terpakai. Beberapa tergeletak begitu saja tak ada yang menyentuh. “Kata orang Polairud (Kepolisian Perairan dan Udara) dulu jangan diambil barang sebiji juga, nanti ditangkap,” ujar seorang warga setempat kepada Republika.
“Jangan ditulis nama saya, takut dilaporin,” ia melanjutkan. Ketakutan untuk dikutip namanya dibagi merata warga kampung. Mereka sepemahaman soal bahayanya memberikan keterangan secara terbuka bagi awak media selepas viral keberadaan pagar laut tersebut.
Sejumlah warga yang ditemui Republika menuturkan tak ada warga kampung yang kala itu paham untuk apa pengerjaan pagar laut tersebut. “Kita tanya sama para pekerja juga mereka jawabnya tidak tahu. Hanya diperintah saja,” tutur warga lainnya.
Para pekerja, menurut mereka, datang dari berbagai wilayah di Tangerang, namun tak ada yang dari kampung setempat. Mereka mengaku dibayar sekitar Rp 60 ribu sampai Rp 65 ribu untuk mengerjakan per meter pagar laut.
Para pekerja di Pulau Cangkir kala itu mengerjakan pagar laut yang merentang di wilayah laut tiga desa di sekitarnya. Karena posisi Pulau Cangkir tergolong strategis, para pekerja memilih berangkat dari sana. “Mereka biasa datang pagi, ngopi-ngopi, makan mie, kemudian bekerja ke laut. Malamnya ke darat, makan lagi dan minum es atau ngopi, terus pulang lagi,” tutur warga tersebut.
Sejumlah warga lainnya menuturkan bahwa sejak awal pembangunan, pagar laut itu sudah bikin kesal nelayan setempat. Pasalnya, mereka yang biasanya langsung berlayar harus memutari pagar yang didirikan. “Biasa beli solar tiga liter ini bisa jadi delapan liter,” tutur mereka.
Pada awal September, para nelayan kemudian mengadu ke Polairud setempat. Laporan itu agaknya sampai ke markas Polairud di Karangantu, di Serang, Banten. Petugas kepolisian tersebut kemudian datang dengan kapal besar di laut Pulau Cangkir.
Pengerjaan sempat terhenti setengah bulan sejak kedatangan petugas polisi tersebut. Kendati demikian, berlanjut lagi hingga akhirnya pungkas pada akhir Oktober. “Katanya harus selesai sebelum Natal,” ujar seorang warga.
Meski tak ada jawaban pasti soal alasan keberadaan pagar laut itu, sas-sus telanjur beredar di masyarakat. “Katanya nanti mau diurug,” ujar salah satu warga. Ia merujuk pada reklamasi pantai yang marak dilakukan di Teluk Jakarta. “Nanti katanya dibuat gedung-gedung tinggi, digusur semua kita,” ia menambahkan.