AJI: Pasal RKUHP Berpotensi Banyak Seret Jurnalis ke Jeruji Besi
RKUHP dinilai sengaja memasukkan pers sebagai delik umum bukan lex specialis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama koalisi yang tergabung dalam Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak keterbukaan informasi publik terkait draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas Unggraini mengatakan, baik pemerintah dan DPR hingga saat ini tidak terbuka terkait draf RKUHP yang sudah diserahkan ke DPR.
Saat ini, draf RKUHP yang beredar di publik dan disebut sudah final itu, belum pernah dikonfirmasi kesahihannya sebagai draf resmi. Namun, dari draf RKUHP diketahui banyak pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dan berpendapat di Indonesia.
Ika mengatakan, pasal-pasal bermasalah tersebut sebetulnya sudah pernah dikritisi pada pembahasan 2019 lalu. Namun, pasal itu masih dipertahankan di draf RKUHP yang beredar tersebut.
"Yang kita liat pasal-pasal anti demokrasi warisan kolonial, masih muncul di RKUHP yang baru, setidaknya kita liat dari draf yang beredar 4 Juli berdampak serius terhadap pers, ini akan membawa potensi banyak jurnalis ke jeruji besi," ujar Ika dalam jumpa pers secara virtual, Senin (18/7/2022).
Ika mengatakan, sejumlah pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, tindak pidana kekuasaan umum dan lembaga negara, tindak pidana berita bohong dan tidak pasti secara langsung berkaitan dengan kerja-kerja jurnalis. Dia menjelaskan, ketika jurnalis melakukan kritik kepada presiden dan wakil presiden bahkan level pemerintah daerah sekalipun menjadi celah mudah bagi pihak yang dikritik untuk mempidanakan jurnalis melalui pasal ini.
Selain itu, pasal ini juga sudah dinyatakan inkonstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016, tetapi kemudian dihidupkan kembali oleh pemerintah. "Tidak menutup kemungkinan kalau kemudian RKUHP ini disahkan, akan semakin banyak jurnalis-jurnalis yang divonis pidana," kata Ika.
Kedua, lanjut Ika, pasal bermasalah lainnya adalah pasal 263 tentang berita bohong yang rawan disalahgunakan pihak tertentu, tidak terkecuali instansi pemerintah seperti Polri. Berdasarkan catatan AJI, selama dua tahun terakhir, banyak karya jurnalistik yang sudah melalui prosedur verifikasi ketat dengan mudah dilabeli hoaks oleh institusi Polri.
"Jadi bayangkan jika pasal ini kemudian masuk dalam RKUHP, besok-besok akan semakin banyak berita yang bermuatan kritik terhadap penyelenggaraan negara kemudian ini semakin mudah dilabeli hoaks lalu diseret dengan pasal 263," kata Ika.
Ketiga, pasal 264 tentang tindak pidana bagi berita yang tidak lengkap turut mengancam kerja jurnalis. Ika menilai, pasal ini akan mudah digunakan bagi produk jurnalistik dengan kondisi tertentu seperti Breaking News yang memaksa harus cepat dan diperbarui setiap waktu atau kendala akses internet.
Kondisi ini kata Ika, menjadikan produk jurnalistik tersebut belum lengkap. Namun demikian, pasal 264 ini kemudian membuat berita yang dianggap tidak lengkap atau belum mendapat data yang utuh di lapangan mudah dijerat pidana dengan pasal ini.
Padahal kata Ika, ketentuan mengenai keberimbangan atau cover both side sudah ada dalam Undang-Undang Pers, termasuk mekanisme hak jawab dan pengaduan ke Dewan Pers. "Ini menunjukkan logika dalam pasal ini kaca seolah-olah generalisasi bahwa berita yang tidak lengkap itu sebagai informasi palsu. Ini juga bukti ketidakpahaman perumusan pasal-pasal RKUHP ini terhadap kerja-kerja jurnalistik," kata Ika.
Kemudian, pasal yang tidak kalah mengkhawatirkannya bagi insan pers adalah pasal 598, 599, dan 600 yang mengatur tentang tindak pidana penerbitan dan percetakan. Dia menilai pasal-pasal ini sengaja dimasukkan agar membuat pers menjadi delik umum, tidak lagi sebagai lex spesialis.
"Melihat pasal-pasal ini tentang RKUHP memang sengaja memasukkan pers sebagai delik umum bukan lagi sebagai lex specialis yang telah diatur oleh undang-Undang Pers," kata dia.
Karena itu, AJI bersama Komite Keselamatan Jurnalis mengajak pers dan masyarakat sipil untuk mengawal penuh pembahasan RKUHP antara DPR dan Pemerintah. Sebab, jika pasal-pasal bermasalah tersebut sampai disahkan tidak hanya merugikan pers di Indonesia tetapi juga kebebasan seluruh masyarakat.
"Ini menyangkut siapapun, kita harus kawal penuh dan mendesakkan draft atau RKUHP ini dibuka kepada publik dan juga kawan-kawan media harus tetap konsisten untuk mengkritik RKUHP yang jelas-jelas tidak berpihak pada kebebasan pers dan juga pada seluruh warga negara," kata dia.