Dr Susanti, Penyintas Kanker yang Kembangkan Test Kit Kanker Usus
Awalnya, ia mempelajari profil genetika pasien kanker usus di Inggris.
REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Delapan tahun lalu, Dr apt Susanti divonis menderita kanker usus stadium 3 pada usia 30 tahun. Pengalaman pahit sebagai penyintas kanker, mendorong dosen farmasi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) ini untuk melakukan penelitian di bidang tersebut.
Seperti diketahui, hingga saat ini kanker merupakan salah satu penyakit paling mematikan di Indonesia, dengan tidak diketahui penyebab dan obat yang ampuh untuk penyakit ini. Bahkan orang-orang yang menerapkan gaya hidup sehat bisa terjangkit kanker tanpa bisa diduga.
Dr. Susanti merupakan akademisi yang telah tertarik untuk meneliti kanker sejak studi S2 di Australia. Namun naas, ketika selesai mendapatkan gelar Master di Australia dan kembali ke Indonesia, Susanti malah terjangkit kanker usus stadium 3.
"Saya operasi, kemoterapi, dan pengobatan macam-macam di Indonesia. Dan setelah dua tahun perjuangan, saya dinyatakan remission atau tidak ditemukan tanda-tanda kanker lagi," ujar Susanti kepada Republika.co.id, Rabu (27/7/2022).
Ketika sembuh, ia kemudian bertekad untuk kembali meneliti kanker. Menurutnya, ini merupakan jalan yang diberikan oleh Allah SWT, dengan memberikan ujian dari penyakit yang pernah dialami untuk kemudian dapat menciptakan metode diagnostik kanker secara tepat.
Sejak 2018, ketika melanjutkan studi S3 nya di University of Nottingham, Inggris, Dr Susanti mulai mengembangkan kit diagnostik untuk kanker usus dengan pendanaan dari Islamic Development Bank (IDB). Awalnya, ia mempelajari profil genetika pasien kanker usus di Inggris, kemudian ia menyadari bahwa Indonesia belum semaju Inggris dalam metode diagnostik kanker.
"Makanya saya kembangkan di Indonesia bekerja sama dengan banyak pihak. RS yang menyediakan sampel pasiennya untuk divalidasi atau uji coba dengan metode ini ada RS Kanker Dharmais, RSCM - FKUI, RSUP Dr Sardjito - FKUGM, serta FK Universitas Riau," tutur Susanti.
Kolaborasi dengan kampus tempatnya mengajar, UMP, dilakukan dalam studi health economy yakni bagaimana tes ini memengaruhi efisiensi pendanaan kesehatan. Untuk mengembangkan metode ini di Indonesia, Susanti mengembangkan startup bernama PathGen, yang diinkubasikan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Selain itu, sebagai diaspora di Inggris, Susanti juga banyak difasilitasi oleh KBRI London. Melalui dukungan dari berbagai pihak ini, akhirnya kit diagnostik kanker usus bernama BioColoMelt-Dx ini bisa terwujud.
Produk diagnostik molekuler ini untuk mendeteksi kelainan genetika atau mutasi gen yang utama terjadi pada pasien kanker usus besar. Produk ini telah memeroleh izin edar dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada 1 July 2022 dengan Nomor Kemenkes RI AKD20306220065 dan merupakan produk pertama diagnostik molekuler kanker yang diproduksi di Indonesia.
Pemeriksaan molekuler
BioColoMelt-Dx didasarkan pada metode deteksi perubahan atau mutasi gen berbasis PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan High Resolution Melting Analysis (HRMA) sehingga sangat mudah dikerjakan di laboratorium dengan sumber daya terbatas dan berbiaya terjangkau.
Menurutnya, saat ini, banyak sekali mesin PCR yang telah tersedia di seluruh Indonesia selepas pandemi Covid-19 sehingga kehadiran produk BioColoMelt-Dx diharapkan dapat meningkatkan penggunaan mesin-mesin PCR dan fasilitas terkait untuk menangani masalah kesehatan utama lainnya seperti kanker.
Pada pemeriksaan molekuler kanker usus besar, materi genetik berupa DNA dari jaringan tumor pasien yang menjalani tindakan biopsi maupun operasi reseksi usus besar akan diisolasi. Kemudian, menggunakan kit BioColoMelt-Dx, DNA tersebut akan diperiksa untuk mengetahui gen-gen penting.
"Sekarang terapi untuk pasien kanker itu sudah tidak sama lagi, harus berdasarkan kondisi genetika pasien. Ini digunakan untuk dokter melihat terapi apa yang tepat untuk masing-masing individu," jelas Susanti.
Lebih lanjut, BioColoMelt-Dx juga dapat digunakan untuk menapis pasien kanker usus besar yang kemungkinan mempunyai kelainan genetik turunan berupa Lynch Syndrome, khususnya pada pasien muda di bawah 50 tahun.
Keluarga sedarah dari pasien kanker kemungkinan tinggi juga mempunyai kelainan genetik yang sama membuat mereka menjadi berisiko tinggi untuk mengidap beberapa jenis kanker termasuk kanker usus besar.
"Kit ini bisa digunakan untuk keluarga dari pasien, sehingga mereka dapat menjalani pengawasan yang lebih awal dalam rangka deteksi dini. Jadi timbulnya kanker dapat dicegah atau ditangani saat masih di stadium rendah," ujarnya.
Sensitivitas dan spesifisitas tes BioColoMelt-Dx sangat baik (>95 persen) dan telah diuji menggunakan kurang lebih 300 sampel pasien kanker usus besar di UK (Nottingham) dan Indonesia dengan pembanding berupa metode deteksi standar yang telah disetujui oleh badan regulasi internasional seperti FDA (Food Drug Administration).
Metode diagnostik yang digunakan melalui kit ini juga lebih simple dari metode yang sebelumnya digunakan, bahkan dari metode sequencing yang dipelajari Susanti di Inggris. Kit diagnostik BioColoMelt-Dx telah resmi diluncurkan oleh induk holding BUMN farmasi, Bio Farma.
Untuk pemasarannya, akan ditargetkan pada empat RS yang sudah melakukan uji coba kit ini, serta rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan yang telah memiliki mesin PCR dan melayani penyakit kanker. Rencananya, kit diagnostik ini akan dipasarkan dengan biaya lebih murah dibandingkan metode tes genetik kanker yang sekarang ini masih dipakai di Indonesia.
"Rencananya dipasarkan satu box untuk 20 pasien seharga Rp 40 juta, jadi satu pasien sekitar Rp 2 juta untuk setidaknya enam gen. Di kondisi yang ada sekarang ini tes genetik sekitar Rp 5 jutaan untuk satu gen," katanya.
Menyusul kesuksesan BioColoMelt-Dx, saat ini PathGen tengah mengembangkan kit diagnostik untuk kanker paru-paru dan ke depannya beberapa kanker lain. Tidak hanya itu, PathGen juga menargetkan pengembangan kit untuk melihat risiko kanker pada orang sehat.
"Harapan kami ini dapat membantu treatment kanker di Indonesia dengan biaya lebih terjangkau," kata Susanti.