LPSK Ungkap Lonjakan Permohonan Perlindungan Kasus Kekerasan Seksual
Permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual ke LPSK meningkat.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual perempuan dan anak melonjak hampir 100 persen sepanjang 2021. LPSK menilai hal ini membuktikan bahwa Indonesia memang dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
LPSK mencatat permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual kurun empat tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan. Pada 2018, terdapat 305 permohonan dan meningkat menjadi 359 pada 2019. Permohonan sempat turun pada 2020 dengan angka 245.
"Namun angka permohonan kembali melonjak tajam pada 2021 dengan angka 486 permohonan," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo dalam keterangan pers pada Rabu (3/8/2022).
Dari angka permohonan tersebut, status hukum pemohon didominasi dengan status saksi korban (212 orang), kemudian saksi dan pelapor. Berdasarkan gender, pemohon kasus kekerasan seksual didominasi oleh perempuan sebanyak 370, sedangkan 116 sisanya adalah laki-laki.
"Dari segi usia, anak-anak menyumbang angka permohonan cukup siginifikan yakni 234, meskipun korban berusia dewasa masih menjadi pemohon terbanyak (252)," ujar Hasto.
Permohonan yang masuk berasal dari 27 provinsi yang melingkupi 104 kota. Permohonan terbanyak berasal dari Provinsi Jawa Barat dengan 100 permohonan, diikuti oleh DKI Jakarta (83); Sumatera Utara (37); Jawa Tengah (35); dan Lampung (28).
Hasto mengatakan bahwa data LPSK tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, kasus kekerasan seksual di Indonesia masih jadi ancaman serius bahkan meningkat setiap tahunnya. Kedua, masyarakat khususnya korban sudah sadar akan haknya dan mengetahui dimana tempat memohonkan perlindungan. Ketiga, data tersebut menunjukan bahwa LPSK sudah mendapat kepercayaan dari khalayak.
Hasto menambahkan, berdasarkan data LPSK, sebanyak 172 korban kekerasan seksual merupakan anak dalam fase sekolah di SMP dan SMA. Hal tersebut bahwa usia sekolah menengah paling rentan menjadi korban kekerasan seksual.
"Namun demikian, pemohon yang berasal dari usia sekolah dasar dan pra sekolah juga cukup tinggi," ucap Hasto
Hasto mencatat hal menarik terkait profil pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Perilaku perbuatan keji ini paling banyak dilakukan oleh orang yang dikenal oleh para korban, sebanyak 34% pelaku merupakan teman korban; 24% keluarga; 20% dari lingkungan terdekat; 9% pendidik. Walau begitu, terdapat beberapa pelaku yang merupakan tokoh masyarakat/agama serta pejabat di instansi pemerintahan.
"Salah satu faktor penyebab terjadinya banyak kasus kekerasan seksual adalah adanya relasi yang timpang antara pelaku dan korban, bisa antara guru dan murid, atasan dengan pegawai di bawahnya, orang tua dan anak dan sebagainya," ungkap Hasto.