Komitmen Kuat Jokowi dalam Hilirisasi Tambang Mineral
Ekonom apresiasi komitmen Presiden Jokowi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF, Dradjad Wibowo mengapresiasi upaya hilirisasi tambang mineral, yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Proses hilirisasi akan menghadapi tantangan yang berat.
Dikonfirmasi tentang kehadirannya di acara silaturahim dengan Jokowi, Ketua Dewan Pakar PAN ini membenarkan kehadirannya. “Iya benar saya hadir dalam silaturahmi Presiden Jokowi dengan para ekonom hari Rabu 3 Agustus kemarin di Istana.,” kata Dradjad kepada Republika.co.id, Kamis (4/8/2022).
Dijelaskannya, acara dimulai dengan makan siang, disambung penjelasan Presiden dan diskusi yang dipandu oleh Menseskab Pramono Anung." Ada juga “ngobrol” informal dan guyon seperti ketika mas Pram dan saya saling celetuk soal politik yang membuat Presiden tertawa lepas,” jelas Dradjad.
Dalam silaturahim itu, ungkap Dradjad, banyak kebijakan ekonomi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi. Salah satu yang disoroti Dradjad adalah masalah menyoroti hilirisasi tambang mineral. Secara obyektif Dradjad mengatakan harus mengapresiasi apa yang yang sudah dicapai oleh Presiden Jokowi dan jajarannya.
"Mungkin saya akan dicerca, saya mengatakan ini karena Ketum PAN menjadi Mendag. Mungkin yang mencerca belum paham betapa panjang dan beratnya perjuangan hilirisasi di Indonesia,” papar Dradjad.
Sejak tahun 2000an, Dradjad mengaku sudah berteriak soal industri hilir. Di DPR 2004-2009, meskipun tidak ikut pansus, Dradjad mengaku kut mendorong hilirisasi dalam RUU Minerba. "Mas Pram salah satu tokoh kunci hilirisasi dari Fraksi PDIP saat itu. Yang kami lakukan hanya bicara dan berdebat. Itu saja tekanannya sudah super berat,” ungkap yang saat itu menjadi anggota DPR dari PAN.
Menurut Dradjad, hal yang saat ini dilakukan Presiden Jokowi adalah mewujudkannya. Dikatakannya, Jokowi berhadapan langsung dengan negara besar dan pemain tambang global yang dirugikan. "Jelas tekanannya jauh lebih besar,” ungkapnya.
Contoh kongkretnya adalah hilirisasi nikel dan kaitannya dengan ekspor besi/baja. Pada tahun 2012-2014 ekspor besi/baja Indonesia hanya berkisar USD 1.6-2.1 milyar. Tahun 2019 ekspornya USD 7.9 milyar. Setelah hilirisasi tahun 2020, ekspor besi/baja naik menjadi USD 11.3 milyar (2020), bahkan melonjak hampir 2 kali lipat menjadi USD 21.4 milyar pada 2021.
Menurut Dradjad, hal Itu semua tidak akan tercapai jika hilirisasi nikel tidak dilakukan. Lawan yang dihadapi pun tidak main-main. Uni Eropa marah karena Indonesia melarang / membatasi ekspor bijih nikel pada 2020. Penyebabnya, industri baja di sana terancam kekurangan nikel, sementara Indonesia adalah eksportir nikel kedua terbesar ke Uni Eropa.
Dalam silaturahim kemarin, Dradjad melihat Presiden memiliki political will yang sangat kuat untuk hilirisasi. Tanpa itu, menurutnya, belum tentu Indonesia berhasil menghadapi tekanan Uni Eropa. Apalagi, Presiden Jokowi tidak berhenti di nikel. Bauksit, tembaga dan mineral lain juga diharuskan ber-hilirisasi.
Manfaat hilirisasi, kata Dradjad, sangat jelas. Nilai tambah naik signifikan, ini mendorong pertumbuhan. Neraca perdagangan dan pembayaran diuntungkan. Ini memperkuat stabilitas makro termasuk nilai tukar Rupiah.
"Kritik dan saran tentu ada. Pertama, kita perlu memperbaiki ekosistem bisnis, agar sisi pemerataan dari hilirisasi bisa maksimal,” paparnya. Pelaku usaha menengah dan kecil yang mendapat nilai tambah dari hilirisasi perlu diperbanyak.
Kedua, hilirisasi agroindustri juga perlu digenjot seperti di tambang. Sawit contohnya, banyak dikerjai di Amerika Utara dan Uni Eropa. Jadi harus hilirisasi.
Ketiga, hilirisasi migas perlu mendapat perhatian lebih. Puluhan tahun Indonesia tergantung pada Singapura yang tidak punya minyak, karena hilir migas Indonesia tertinggal.