RI Swasembada Beras karena Banyak Konsumen Beralih ke Gandum, Pakar: Mengkhawatirkan

Indonesia mengalami surplus beras sejak 2019.

ANTARA/Andi Bagasela
Petani merontokkan padi di areal persawahan (ilustrasi). Indonesia tercatat mengalami surplus beras sejak 2019 dan diproyeksi berlanjut hingga 2022.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia tercatat mengalami surplus beras sejak 2019 dan diproyeksi berlanjut hingga 2022. Optimisme itu terlihat dari pasokan dan harga yang tetap stabil. Namun, di balik capaian itu, terdapat sejumlah masalah mengkhawatirkan yang mengancam ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang.

Baca Juga


Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa, mengatakan, surplus beras yang membawa Indonesia pada swasembada terjadi disaat peningkatan produksi relatif minim, bahkan turun pada tahun 2021 meski terjadi iklim La Nina.

Ia memamparkan, situasi tahun 2007 lalu saat terjadi La Nina, peningkatan produksi 4,7 persen. Pada 2019, akibat La Nina kenaikan produksi bahkan mencapai 9,6 persen.

"Produksi tahun 2020 di saat terjadi La Nina hanya naik 0,09 persen, tahun 2021 justru turun 0,42 persen. Ini perlu menjadi catatan penting," katanya.

Tercatat tahun 2020 lalu berdasarkan data BPS, produksi beras sempat mencapai 31,5 juta ton sedangkan 2021 hanya 31,36 juta ton. Andreas mencatat, di tengah penurunan produksi, pertumbuhan jumlah penduduk relatif masih sama.

Pihaknya menduga, penurunan produksi yang terjadi akibat persoalan di tingkat usaha tani. Andreas yang juga menjadi Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) menyampaikan, pihaknya terus melakukan survei bulanan terhadap harga gabah.

Ia menyampaikan, terdapat tren penurunan harga gabah kering panen (GKP) secara nasional di provinsi penghasil utama beras. Pada periode 2019-2020, harga bulanan GKP masih berada pada kisaran lebih dari Rp 4.500 per kg hingga Rp 5.100 per kg.

Mulai 2021, harga anjlok hingga kisaran Rp 3.900 per kg dan tertinggi pada Desember lalu Rp 4.953 per kg. Memasuki 2020, kecenderungan harga terus menurun hingga Mei lalu di kisaran Rp 3.900 per kg.

"Jangan-jangan petani malas tanam padi sehingga tidak bisa memanfaatkan iklim La Nina yang bagus?" katanya.

Ia memaparkan, situasi harga beras yang stabil di tengah kenaikan produksi beras yang minim bisa jadi dimaknai sebagai adanya diversifikasi pangan lokal. Pemerintah juga mulai mengkampanyekan diversifikasi pangan lokal sebagai pengganti beras.

"Tapi, penyebabnya itu ternyata adalah gandum. Ini yang luar biasa peningkatan impornya. Apa betul ada diversifikasi pangan (lokal)?," katanya.

Baca juga : Pakar Pertanian IPB: Krisis Pangan Global tak Akan Terjadi, Ini Buktinya

Hingga 2021 lalu, total impor gandum tembus hingga 11,7 juta ton, naik signifikan dari 2020 yang masih 10,5 juta ton. Meskipun, sebagian kecil impor gandum kini digunakan sebagai bahan baku pakan unggas.

Namun, Andreas mendatat, pada tahun 1970 lalu, proporsi pangan berbasis gandum hampir 0 persen. Proporsi melonjak hingga 18,3 persen di tahun 2010 dan menjadi 26,6 persen pada tahun 2020.

"Bila kecenderungan ini terus terjadi, maka saat 100 tahun RI merdeka, saya khawatir 50 persen kebutuhan pokok tergandukan gandum, bukan sorgum, jagung, tapi gandum. Ini perlu jadi perhatian bersama," kata dia.

Selain gandum, Andreas pun mencatat tingginya impor pangan lain. Hingga 2021, total impor pangan Indonesia tembus 27,7 juta ton. Pada 2011 lalu, total impor pangan nasional masih berkisar 16,9 juta ton.

Adapun komoditas terbesar yang diimpor yakni beras khusus, jagung untuk industri makanan, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, hingga kacang tanah. Komodita situ rata-rata diimpor lebih dari 300 ribu ton per tahun.

Baca juga : NFA Segera Susun Ulang Harga Acuan Pangan untuk Petani hingga Konsumen

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler