Delegasi Rusia Sulit Mendapatkan Visa AS

Rusia sebut keterlambatan visa ini sangat mengkhawatirkan.

AP/Russian Foreign Ministry Press S
Dalam foto yang dirilis oleh Layanan Pers Kementerian Luar Negeri Rusia, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyampaikan pidatonya kepada perwakilan kedutaan negara-negara anggota Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia, Rabu, 27 Juli 2022.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia telah mengajukan 56 visa Amerika Serikat (AS) untuk mengizinkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan delegasinya melakukan perjalanan ke New York. Kehadiran rombongan ini untuk menghadiri pertemuan tahunan para pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan ini, tetapi sejauh ini belum menerima visa tersebut.

Dalam sebuah surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang dilihat oleh Reuters pada Jumat (2/9), Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan, keterlambatan pengeluaran izin ini mengkhawatirkan. Delegasi tersebut akan melakukan pertemuan tingkat tinggi Majelis Umum PBB di New York, yang dimulai pada 20 September.

Nebenzia juga menegaskan, belum ada visa AS yang diberikan kepada wartawan yang menemani Lavrov dan awak pesawat. Dia meminta Guterres untuk sekali lagi menekankan kepada pihak berwenang AS agar segera mengeluarkan visa yang diminta untuk semua delegasi Rusia dan orang-orang yang menyertainya, termasuk jurnalis Rusia.

Selama beberapa bulan terakhir, menurut Nebenzia, Washington terus-menerus menolak untuk memberikan visa masuk ke sejumlah delegasi Rusia untuk acara PBB lainnya. Padahal aplikasi yang diperlukan telah diajukan ke Kedutaan Besar AS di Moskow.

Nebenzia mengutip beberapa masalah visa baru-baru ini dalam suratnya kepada Guterres, seperti Menteri Dalam Negeri Rusia Vladimir Kolokoltsev tidak dapat melakukan perjalanan ke New York. Padahal dia perlu melakukan pertemuan puncak Kepala Polisi PBB minggu ini.

Menurut Nebenzia, perwakilan dari lembaga penegak hukum Rusia juga tidak dapat menghadiri acara PBB minggu ini. Kehadiran mereka dalam urusan melawan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk tujuan kriminal.

Juru bicara PBB Eri Kaneko menyatakan, Guterres dan pejabat senior PBB lainnya berhubungan dekat dengan AS dan Rusia mengenai visa tersebut. "Kami secara proaktif terlibat dengan Misi AS tentang visa ... dan bekerja sama dengan Misi pada kasus-kasus tertentu yang menjadi perhatian kami. Kami melakukannya dalam kasus ini," katanya.

Sedangkan juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyatakan, AS menganggap serius kewajibannya sebagai negara tuan rumah PBB. Catatan visa bersifat rahasia di bawah hukum AS sehingga Departemen Luar Negeri AS tidak dapat mengomentari kasus individu.

"Kami memproses ratusan visa setiap tahun untuk delegasi Federasi Rusia ke acara-acara PBB," kata juru bicara Departemen Luar Negeri.

Juru bicara itu menambahkan, bahwa aplikasi harus diajukan sedini mungkin untuk memastikan pemrosesan tepat waktu. "Ini sangat penting karena tindakan Rusia yang tidak beralasan terhadap kedutaan kami di Rusia, termasuk penghentian paksa staf nasional lokal dan negara ketiga, yang sangat membatasi staf kami dan oleh karena itu kapasitas kami untuk memproses visa," ujarnya.

Perjanjian markas besar PBB pada 1947, membuat AS umumnya diharuskan untuk mengizinkan akses bagi diplomat asing untuk bisa menghadiri acara PBB. Namun Washington mengatakan, dapat menolak visa untuk alasan keamanan, terorisme, dan kebijakan luar negeri.

Hubungan antara AS dan Rusia memburuk sejak Moskow menginvasi negara tetangga Ukraina pada Februari. Namun, Washington memang telah lama membatasi diplomat dan delegasi Moskow di PBB untuk bepergian lebih dari 40 km dari New York City tanpa persetujuan sebelumnya dari Washington.

Pada Februari, AS menjatuhkan sanksi pada Lavrov dengan menuduhnya bertanggung jawab langsung atas invasi lebih lanjut Rusia yang tidak beralasan dan melanggar hukum ke Ukraina. Sanksi tersebut membekukan aset apa pun yang mungkin dimiliki Lavrov di AS dan umumnya melarang orang Amerika untuk berurusan dengannya. Dwina Agustin/reuters

Baca Juga


sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler