Komnas HAM: Tak Ada Kerusuhan Sebelum Tembakan Gas Air Mata Polisi di Kanjuruhan
Suporter Aremania ke lapangan tak buat rusuh, tapi peluk pemain.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak menemukan adanya peristiwa kerusuhan, pun eskalasi ancaman keamanan tinggi usai pluit panjang akhir pertandingan sepak bola antara Arema FC Vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, di Jawa Timur (Jatim), Sabtu (1/10).
Dari hasil investigasi Komnas HAM atas tragedi kemanusian yang menewaskan 132 penonton di Kanjuruhan itu, hanya menemukan reaksi sentimental para suporter klub tuan rumah, atas kekelahan 2-3 dari kesebalan seturunya itu.
Kordinator Investigasi Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengungkapkan, dari penyelidikan yang dilakukan timnya menemukan sejumlah fakta praperistiwa penyerangan gas air mata yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Salah satunya, kata Anam mengungkapkan temuan adanya aksi para suporter Arema, yang turun dari tribun penonton dan nekat masuk ke lapangan usai laga.
Akan tetapi kata Anam, aksi nekat penonton tersebut, bukan suatu ancaman. “Bahwa sekitar 14 sampai 20 menit pascapluit panjang tanda pertandingan selesai dibunyikan, kondisi dan situasi di Stadion Kanjuruhan masih terkendali,” ujar Anam, Rabu (12/10).
Pertandingan antara Arema Vs Persebaya, berakhir sekitar pukul 22:00 WIB. Anam mengatakan, setelah pertandingan selesai, tradisi para pemain Arema di kandangnya sendiri, akan melakukan aksi permohonan maaf kepada para suporter, jika mengalami kekalahan.
Seremoni kekelahan tersebut mendapat respons sentimentil oleh para fans. Yaitu dengan berlari ke tengah lapangan menemui para pemain. Aksi nekat penonton masuk ke lapangan tersebut, memang satu kesalahan tersendiri. Akan tetapi, menurut Anam, situasi saat itu, tak ada ancaman.
“Sejumlah Aremania (suporter Arema) menghampiri pemain, dan memeluk pemain-pemain Arema untuk tujuan memberikan semangat, menyampaikan dukungan, ‘Salam Satu Jiwa’, ada yang saling menangis,” kata Anam.
Bahkan menurut penelusuran via wawancara langsung, kata Anam, para pemain pun turut menangis, terharu dengan reaksi sentimentil para suporter. Terutama kata Anam, para pemain-pemain Arema, yang memiliki emosional kedaerahan, karena kalah di kandang sendiri.
Namun Anam menegaskan, dari semua situasi tersebut, tak ada fakta peristiwa yang memunculkan eskalasi tinggi. “Standing kami (kesimpulan Komnas HAM) tetap di situ. Bahwa teman-teman dari Aremania, mereka hanya datang (masuk ke lapangan) mendatangi pemain, menyampaikan dukungan, menyampaikan semangat. Itu terkonfirmasi dari banyak video dan keterangan wawancara yang kami dapatkan,” ujar Anam.
Penggalian fakta peristiwa atas aksi sentimental para suporter itu, pun kata Anam, didapatkan dari para keamanan panitia lokal, yang melakukan penyisiran terhadap suporter yang berusaha memeluk para pemain Arema. “Kami mendapatkan informasi tentang prakondisi tersebut,” terang Anam.
Gas air mata
Kemudian, kata Anam, prakondisi tersebut, tanpa kalkulasi keamanan dari kepolisian yang direspons dengan serangan gas air mata. Dari penyelidikan Komnas HAM, kata Anam, gas air mata dari kepolisian pertama kali meluncur ke arah tribun selatan. Luncuran zat berbahaya pengurai massa itu, terjadi sekitar pukul 22:08:59 WIB.
Kesimpulan Komnas HAM, kata Anam, pada jam tersebut merupakan titik krusial situasi tak terkendali pada malam nahas tersebut. “Inilah yang menyebabkan kepanikan penonton di tribun, dan memunculkan situasi di lapangan menjadi rusuh dan ricuh,” sambung Anam.
Anam menegaskan, dalam salah satu bukti atas situasi tersebut, tim penyelidikan dapatkan dari dokumentasi rekaman video milik salah satu korban. Namun Anam mengungkapkan, tim penyelidikannya tak dapat melakukan wawancara detail dengan korban yang merekam mula situasi kritis karena serangan gas air mata tersebut, lantaran si korban sudah dinyatakan meninggal dunia. “Video yang menjadi kunci yang kami dapatkan ini, memang direkam oleh salah satu korban yang sudah meninggal. Dia merekam dari tribun, sampai titik pintu keluar. Tetapi dia sendiri meninggal dunia,” ujar Anam.
Anam melanjutkan, setelah tembakan gas air mata pertama dari keamanan Polri itu, kepanikan di tribun membuat para penonton berdesak-desakan untuk keluar. Situasinya, dikatakan Anam, juga dibarengi dengan tembakan-tembakan gas air mata lanjutan yang membuat semua orang di dalam stadion menjadi panik.
Namun sayangnya, semua pintu keluar stadion pada saat itu, terbuka tak maksimal. Sehingga membuat para penonton bertumpuk-tumpuk untuk keluar, namun dijejali dengan kepanikan, dan zat perih dari gas air mata petugas kepolisian.
“Bahwa fakta yang kami temukan, pintu tribun 10, 11, 12, 13, dan 14, itu terbuka. Tetapi terbuka dengan sangat kecil. Hanya pintu kecil yang terbuka,” terang Anam.
Sementara situasi di tengah dan pinggir lapangan, situasi tak kalah brutal juga terjadi. Komnas HAM kata Anam menemukan bukti-bukti dari fakta kejadian tentang aksi-aksi para anggota Polri dari satuan Brimob, dan Sabhara, serta satuan Angkatan Darat (AD) dari Zeni Tempur, turut serta melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap para suporter yang semula nekat masuk ke lapangan, dan terjebak situasi.
Berbeda dengan Polri
Tak ada kerusuhan di dalam stadion setelah pertandingan Arema FC Vs Persebaya versi Komnas HAM ini berbeda dengan hasil penyidikan yang oleh Polri. Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kamis (6/10) lalu, di Malang, mengakui penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian saat malam nahas itu, salah satu penyebab banyaknya korban. Namun Jenderal Sigit mengatakan, tembakan gas air mata itu tak tiba-tiba. Ada muasal situasi yang mendesak aparat keamanan kepolisian terpaksa menembakkan gas air mata.
Sigit mengatakan aksi nekat para penonton masuk ke lapangan, lantaran emosional melihat hasil pertandingan. “Proses pertandingan semuanya berjalan lancar. Namun saat akhir pertandingan muncul reaksi dari suporter ataupun dari penonton terkait hasil yang ada,” kata Sigit.
Para suporter yang masuk ke lapangan itu, kata Sigit sempat diantisipasi. Polisi kata Sigit, sampai melakukan evakuasi paksa para pemain untuk penyelamatan. Evakuasi yang dilakukan bahkan dikatakan memakan waktu satu jam.
Kapolres Malang saat itu, AKBP Ferli Hidayat, kata Kapolri memimpin langsung evakuasi dengan empat barakuda. Saat evakuasi dilakukan, kata Kapolri, para penonton dan suporter semakin banyak masuk lapangan. Hal tersebut membuat kepolisian melakukan pengendalian. Tapi dengan kekerasan. “Seperti yang kita lihat, ada yang menggunakan tameng. Termasuk pada saat mengamankan penjaga gawang Arema FC, saudara Adilson Marenga,” kata Sigit.
Para anggota pengamanan, berusaha melakukan pengendalian dengan tembakan gas air mata. Tapi tembakan gas air mata itu, juga dialamatkan ke arah penonton di tribun, yang tak tahu apa-apa atas aksi nekat para suporter yang turun ke lapangan. Jenderal Sigit mengatakan, tembakan gas air mata oleh kepolisian dilakukan 11 kali. “Terdapat 11 personel yang menembakkan gas air mata,” ujar Sigit.
Para personil itu, tujuh kali melepaskan gas air mata ke arah tribun selatan, satu kali tembakan ke tribun utara. “Dan tiga kali tembakan ke lapangan,” sambung Sigit.