Krisis Energi Percepat Upaya Penanggulangan Perubahan Iklim
Krisis energi akibat berbagai faktor dapat menjadi titik balik atasi perubahan iklim
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan lonjakan biaya energi yang dipicu berbagai faktor ekonomi dan perang Ukraina dapat menjadi titik balik menuju energi yang lebih bersih. Dalam laporannya, IAE mengatakan permintaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam akan mencapai puncaknya atau mengalami kemandekan beberapa dekade ke depan.
Skenario dalam laporan IEA berdasarkan kebijakan yang berlaku saat ini. Laporan itu mengatakan beberapa tahun ke depan penggunaan batu bara akan berkurang dan permintaan gas alam pada akhir dekade mendatang akan mengalami kemandekan.
Selain itu meningkatnya penjualan kendaraan listrik akan menahan permintaan minyak pada pertengahan 2030-an sebelum sedikit turun pada pertengahan abad ini. Total emisi saat ini terus bertambah setiap tahun tapi mulai melambat.
"Pasar dan kebijakan energi telah berubah karena invasi Rusia ke Ukraina, tidak hanya saat ini tapi juga beberapa dekade ke depan," kata direktur IEA Fatih Birol, Kamis (27/10/2022).
Lonjakan permintaan setelah peraturan Covid-19 dicabut dan kemacetan di rantai pasokan juga berkontribusi pada kenaikan harga energi. "Dunia energi akan berubah secara dramatis tepat di depan mata kami, pemerintah di seluruh dunia berjanji merespons titik balik bersejarah dan menentukan ini menuju energi yang lebih bersih, terjangkau, dan lebih aman," katanya.
Dalam laporan itu peran gas alam sebagai "bahan bakar transisi" yang menjembatani sistem energi berbahan bakar fosil ke energi terbarukan akan berkurang. Meski gas alam merupakan bahan bakar fosil, tapi gas dianggap lebih bersih dari minyak dan batu bara karena menghasilkan karbon dioksida lebih sedikit.
Namun terlepas dari prediksi positif yang dimunculkan, laporan ini menambahkan pangsa bahan bakar fosil di bauran energi global membawa bumi menuju pemanasan 2,5 derajat Celcius pada akhir abad ini. Lebih tinggi dari target yang ditetapkan Perjanjian Iklim Paris.
Seperti laporan PBB yang dirilis Rabu (26/10/2022) kemarin, laporan IEA juga mengatakan janji pemerintah mengatasi perubahan iklim saat ini "masih sangat jauh" dari yang dibutuhkan untuk mewujudkan target ambisius mereka. Ilmuwan iklim mengatakan agar tetap berada jalur menahan suhu bumi 1,5 derajat Celcius, maka emisi harus dipangkas 45 persen pada tahun 2030.
Pakar kebijakan energi mengatakan meski terdapat langkah-langkah menjanjikan menuju arah yang tepat, pergerakan menuju energi bersih harus jauh lebih cepat lagi. "Investasi energi bersih dilaksanakan, itu alasan mengapa dunia berada di jalur menuju puncak emisi CO2. Namun itu hanya langkah pertama, kami harus memotong banyak emisi, tidak mandek," kata pakar energi di lembaga think-tank Ember, Dave Jones.
Laporan itu memperkirakan investasi energi bersih membutuhkan dana sekitar 2 triliun lebih pada tahun 2030. Menurut IAE, butuh dua kali lipat agar tetap berada dalam jalur menuju target-target perubahan iklim.
"Krisis energi telah mengurangi krisis iklim tapi sayangnya jawabannya masih sama: langkah raksasa dalam investasi energi bersih," kata Jones.
"Laporan ini membuat kasus ekonomi yang sangat kuat untuk energi terbarukan yang mana tidak hanya lebih hemat biaya dan terjangkau dari alternatif bahan bakar tapi juga memberikan lebih banyak daya tahan dari guncangan ekonomi dan geopolitik," kata penasihat kebijakan think-tank E3G, Maria Pastukhova.
Ia menambahkan para pemimpin dan negosiator di konferensi perubahan iklim PBB di Mesir bulan depan harus "menggandakan" upaya menurunkan permintaan energi dan memberikan dana ke negara-negara berkembang. Langkah itu diperlukan sebagai bantuan menuju transisi energi terbarukan untuk mempercepat pemangkasan emisi.
Pada Rabu lalu badan cuaca PBB melaporkan tahun lalu tiga gas efek rumah kaca mencapai titik tertingginya di atmosfer. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan ini menunjukkan tanda-tanda "mengerikan" saat dunia sedang menghadapi dampak perang di Ukraina, kenaikan harga bahan bakar dan pangan, serta kekhawatiran lain.
"Lebih banyak berita buruk bagi planet," kata WMO dalam pernyataannya di Buletin Gas Efek Rumah Kaca, seperti dikutip dari NPR.
Ini adalah salah satu dari beberapa laporan yang dirilis beberapa hari terakhir mengenai aspek kesulitan manusia menghadapi perubahan iklim. Penelitian dan laporan-laporan itu dirilis sebelum pertemuan iklim PBB di di Sharm el-Sheikh di Mesir.
Tiga jenis utama gas efek rumah kaca yang menahan panas adalah karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida. WMO mengatakan lonjakan tertinggi dari tahun 2021 ke 2022 terjadi pada metana yang konsentrasinya di udara tertinggi year-on-year sejak pengukuran dilakukan empat dekade yang lalu.