Santo, Arwah, dan Tragedi Itaewon: Begini Asal Muasal Halloween
Tradisi Kristiani disebut jadi asal muasal perayaan Halloween.
Sedikitnya 146 orang dikabarkan meninggal terinjak-injak dalam festival Halloween di Seoul Korea Selatan pada Sabtu (29/10/2023). Membludaknya kerumunan yang merayakan pesta kostum tahunan di Distrik Itaewon itu disebut jadi sebabnya. Apa sebenarnya perayaan Halloween tersebut. Bagaimana asal muasalnya?
Untuk menjawab hal itu, pembaca yang budiman, ada baiknya mengenal dulu tradisi santo alias orang suci di agama Kristiani. Pada awal-awal perkembangannya, tak sedikit pemeluk Kristiani yang menjadi martir karena persekusi Kerajaan Romawi yang masih menganut paganisme. Ratusan pria dan wanita dibunuh dengan kejam karena iman Kristiani mereka.
Di antara para martir tersebut ada beberapa yang mengemuka dan kemudian diakui melalui kanonisasi sebagai santo oleh gereja Katolik. Selain para martir, tokoh-tokoh Kristiani yang juga disebut memiliki keistimewaan atau menjalankan kebaikan yang luar biasa diangkat menjadi santo (atau santa untuk perempuan) selepas wafatnya.
Merujuk sejarawan Oxford Nicholas Rogers dalam bukunya Halloween: From Pagan Ritual to Party Night, pada sekitar abad ke-9, gereja-gereja di Kepulauan Britania utamanya di Irlandia, Skotlandia, dan Wales, merayakan para santo ini pada All Saint's Day alias All Hallow's Day yang jatuh pada 1 November tiap tahunnya. Ibadah pada malam hari menjelang hari itu kemudian disebut All Hallow's Eve. Dari sini akar kata Halloween.
Pada All Hallow's Eve, umat Kristiani di wilayah Britania itu juga menziarahi makam keluarga mereka yang berpulang lebih dulu. Selain itu, mereka juga mendoakan arwah kerabat dan keluarga yang telah berpulang. Sebagian lainnya berpuasa menjelang Hari Seluruh Santo tersebut.
Bukan kebetulan, menurut Rogers, perayaan itu juga bertepatan dengan Samhain alias peringatan berakhirnya masa panen dan masuknya musim dingin. Perayaan kaum pagan dari Celtic yang sudah berjalan ratusan tahun sebelum agama Kristen masuk ke Britania itu diwarnai dengan perjamuan dan pesta sepanjang hari.
Pada hari itu, kaum Celtic juga meyakini bahwa batas antara dunia yang hidup dan 'dunia lain' menipis sehingga makhluk sejenis peri bernama Aos Si bisa menyeberang. Untuk mengelabui Aos Si, orang-orang berdandan dan menyaru menggunakan kostum agar tak diculik. Sebagian lainnya mengukir lobak dan menaruhnya di depan rumah untuk mengusir Aos Si. Orang-orang juga menaruh makanan sebagai persembahan di depan rumah meski boleh diambil yang lewat.
Di abad pertengahan, menurut Nicholas Rogers, tradisi Kristen dan pagan itu akhirnya membaur. Pada masa Reformasi Kristen di abad ke-16, Gereja Inggris sempat mencoba melarang perayaan itu. Kendati demikian, upaya itu tak berhasil, warga tetap merayakan Halloween.
Perayaan itu kemudian dibawa oleh Imigran Irlandia dan Skotlandia ke benua Amerika. Karena tak ada lobak di Amerika, mereka kemudian menggunakan labu yang diukir untuk tetap menjalankan tradisi. Di Amerikalah kemudian Halloween makin kehilangan nuansa Kristianinya. Pesta kostumnya dan tradisi anak-anak kecil berkostum memalak permen yang kemudian jadi pakem.
Saat Amerika Serikat jadi hegemoni dunia sekaligus pemain utama globalisasi, menyebarlah Halloween ke seluruh dunia. Hingga akhirnya salah satu perayaannya di Korea Selatan menimbulkan insiden memilukan di Korea Selatan semalam. []