KPK Tahan Kepala Kanwil BPN Riau Terkait Dugaan Suap Pengurusan HGU
Kasus ini terkait dengan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahan terhadap Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau M Syahrir. Dia ditahan karena diduga meminta uang hingga Rp 3,5 miliar untuk pengurusan hak guna usaha (HGU) dan menerima gratifikasi sebesar Rp 9 miliar.
"Terkait kebutuhan proses penyidikan untuk tersangka MS dilakukan penahanan oleh tim penyidik dengan waktu 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (1/12/2022).
Ghufron mengatakan, Syahrir bakal ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Kavling C1. Penahanan ini dilakukan dari tanggal 1-20 Desember 2022.
Ghufron mengungkapkan, dalam kasus ini, Syahrir diduga meminta uang sebesar Rp 3,5 miliar dalam bentuk pecahan dolar Singapura. Permintaannya ini terkait dengan pengurusan dan perpanjangan sertifikat hak guna usaha PT Adimulia Agrolestari (AA).
Kasus ini berawal dari keaktifan Sudarso selaku General Manager PT AA melakukan pertemuan dengan Syahrir. Mereka bahkan sempat bertemu di rumah dinas Syahrir.
"Diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp 3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA," ungkapnya.
Dari pertemuan itu, Sudarso kemudian menginformasikan permintaan uang ke pemegang saham PT AA, Frank Wijaya. Saat itu dia meminta Rp 1,2 miliar atau setara 120 ribu dolar Singapura dari kas perusahaan yang kemudian disetujui.
Setelah uang tersebut diterima, Sudarso selanjutnya menyerahkan uang kepada Syahrir pada September 2021. Penyerahan dilakukan di rumah dinas Syahrir dengan syarat Sudarso tidak membawa alat komunikasi apapun.
Usai menerima uang tersebut, Syahrir selanjutnya memimpin ekspose atau gelar perkara terkait permohonan perpanjangan HGU PT AA. Adapun dalam penerimaan uang, Syahrir diduga menggunakan sejumlah rekening milik pegawai Kanwil BPN Riau dan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Kampar.
"Dikurun waktu September 2021 sampai 27 Oktober 2021 MS menerima aliran uang baik melalui rekening pribadi maupun atas nama beberapa pegawai BPN sebesar Rp791 juta berasal dari FW," jelas Ghufron.
Selain itu, Syahrir juga diduga menerima gratifikasi senilai Rp 9 miliar. Penerimaan itu dilakukannya pada tahun 2017 hingga 2021.
"MS juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp 9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik," ujarnya.
Atas perbuatannya, Frank bersama Sudarso selaku pemberi suap diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara itu, M Syahrir selaku penerima suap diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.