Pakar Sebut Kinerja Start Up Indonesia Sama Sekali tidak Turun

Kebutuhan masyarakat Indonesia pada start up sudah makin meninggi. 

Peluncuran akselerasi start up Telkom Indonesia. (Ilustrasi)
Rep: Arie Lukihardianti Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kinerja produk digital di Indonesia pada 2022, ternyata sama sekali tidak menujukkan fundamental bisnis digital yang buruk, apalagi melemahnya pemerintaan masyarakat. 


Hal tersebut, diungkapkan Associate Profesor Hukum Teknologi Informasi Universitas Padjajaran, Danrivanto Budhijanto, saat dimintai pendapatnya terkait intensnya rasionalisasi yang dilakukan startup Indonesia sepanjang tahun 2022. 

“Kita harus jeli melihat, yang terjadi bukan kinerja produk digitalnya menurun, bukan startup-nya yang turun. Tapi sedang ada penyesuaian dari sisi bisnis, terutama investor itu sedang menyesuaikan kembali modal yang mereka miliki," ujar Danrivanto dalam keterangan persnya, Selasa (12/12). 

Jadi, kata Danrivanto, mereka tidak menumpuk semuanya di start up. Namun, ditarik dulu untuk ditempatkan ke bidang yang tengah menguntungkan dahulu.

Pernyataan ini senada dengan data terbaru dari Startup Ranking, yang menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi negara di Asia Tenggara dengan jumlah start up terbanyak dalam beberapa tahun terakhir ini. Pada 2022, terdapat 2.305 start up atau dua kali lipat lebih dari posisi rangking dua yakni Singapura dengan 989 perusahaan. 

Selain secara kuantitas, data kualitatif dari Google, Temasek, serta Bain Company juga menunjukkan, bahwa 42 persen dari injeksi modal investor tersebut juga disalurkan ke perusahaan-perusahaan start up asal Indonesia. 

Danrivanto mengatakan, kebutuhan masyarakat Indonesia pada start up sudah makin meninggi atau sudah bukan lagi tren atau prestise sosial sesaat. Interaksi masyarakat yang demikian tinggi pada produk digital telah menciptakan budaya hidup baru yang teguh. 

“Maka dari itu, kalau konteksnya PT Telkom sebagai BUMN teknologi informasi komunikasi, saya pribadi menilai produk digital itu sudah harus terus dikembangkan. Posisi direksi terkaitnya jadi sangat strategis, harus menjadi bagian dari decision maker utama di perusahaan,” paparnya.

Menurutnya, posisi strategi jitu diperlukan karena Telkom sebagai perusahaan pelat merah, sedari dulu hingga sekarang tak sekedar dibebani menjadi mesin pencetak dividen bagi negara. Tapi, simultan juga menjadi motor pembangunan perubah keadaan di masyarakat. 

Situasi dan kondisi mutakhir memang membuka ruang yang luas produk digital termasuk dari PT Telkom. Dengan angka penetrasi internet Asia Tenggara diperkirakan sudah mencapai 75 persen dari populasi kurang lebih 655 juta jiwa pada 2021 lalu, maka riset Google menyebut 7 dari 10 pengguna baru internet di kawasan ini juga bakal terus bertransaksi melalui internet, apalagi setelah pandemi usai.

Sementara menurut Dimitri Mahayana, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB, sekalipun peluang produk digital sangat luas, tapi PT Telkom tetap harus fokus memberikan layanan dasarnya yakni telekomunikasi, dengan sebaik-baiknya. 

“Saya pribadi cenderung strateginya Telkom adalah makin fokus pada layanan dasar mereka sambil tetap touch in pada produk digital. Jangan tidak fokus layanan inti lalu shifting seluruhnya pada layanan digital karena strategi ini sangat beresiko,” katanya. 

Berdasarkan penelahaan dan pengalaman pribadinya, kata dia, produk digital yang sukses lahir dari perusahaan privat yang demikian luwes, lincah, dan oportunis menangkap pasarnya. Sementara BUMN sebagai perusahaan negara tidak bisa seadaptif itu, sehingga diperlukan metode yang seimbang di dalamnya. Yakni menjadi perusahaan negara yang taat aturan, tapi sekaligus lincah bergerak. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
 
Berita Terpopuler