PBB: Taliban Tolak Dialog untuk Pemerintahan yang Inklusif di Afghanistan
Taliban menganggap pemerintahan mereka cukup representatif
REPUBLIKA.CO.ID., PBB -- Perwakilan Khusus PBB di Afghanistan Roza Otunbayeva pada Selasa (20/12/2022) mengatakan bahwa Taliban menolak untuk mengadakan dialog intra-Afghanistan untuk membentuk pemerintahan yang inklusif.
Roza Otunbayeva mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa otoritas de facto negara itu menganggap pemerintah mereka "cukup representatif".
Komunitas internasional menuntut agar Taliban membentuk pemerintahan "inklusif" di mana perempuan dan minoritas terwakili sebagai upaya untuk mengakui hak-hak mereka.
Otunbayeva juga menyatakan keprihatinannya atas aktivitas ISIS/Daesh-Khorasan baru-baru ini, yang juga dikenal sebagai ISIS-K atau ISIL-KP di Afghanistan.
"Taliban pada dasarnya tetap mengendalikan negara tetapi tidak dapat menangani kelompok teroris yang beroperasi di dalam Afghanistan dengan memuaskan," kata dia.
Kepala bantuan PBB Martin Griffiths memberikan informasi kepada Dewan Keamanan tentang situasi kemanusiaan di Afghanistan.
Dia mengatakan bahwa 97 persen warga Afghanistan hidup dalam kemiskinan dan 20 juta orang menghadapi kelaparan akut.
Kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 15 Agustus 2021 diikuti oleh gangguan bantuan keuangan internasional telah menyeret negara itu ke dalam krisis ekonomi, kemanusiaan, dan hak asasi manusia.
AS dan negara-negara Barat lainnya menangguhkan bantuan keuangan ke Afghanistan setelah perebutan kekuasaan oleh Taliban.
Pemerintahan Biden membekukan cadangan devisa bank sentral Afghanistan senilai USD7 miliar sebagai bagian dari sanksi terhadap Taliban.
Pakar hak asasi manusia PBB telah meminta AS untuk mengakhiri pembekuan aset asing Afghanistan.