Warga Daegu Pajang Kepala Babi di Lokasi Pembangunan Masjid Dikecam Sebagai Islamofobia

Tiga kepala babi diletakkan di atas bangku di sebuah gang di luar lokasi pembangunan.

SCMP
Lokasi pembangunan masjid di Daehyeon-dong, Daegu, Korea Selatan (Korsel) yang ditentang warga.
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Aktivis HAM dan mahasiswa Muslim di Korea Selatan (Korsel) mengutuk tindakan Islamofobia yang memajang kepala babi di lokasi pembangunan masjid yang telah mendapat tentangan keras dari penduduk setempat.

Baca Juga


Penduduk di kota tenggara Daehyeon-dong, Daegu selama setahun terakhir telah berusaha memblokir pembangunan masjid di dekat Universitas Nasional Kyungpook. Mereka secara fisik memblokir akses ke area tersebut, memasang spanduk, dan mengadakan pesta barbekyu daging babi.

Dalam insiden terbaru, tiga kepala babi diletakkan di atas bangku di sebuah gang di luar lokasi. Pertama diletakkan di sana pada 27 Oktober, kemudian pada 14 November dan ketiga pada 6 Desember 2022. Hal ini disampaikan Mian Muaz Razaq, perwakilan mahasiswa Muslim di universitas tersebut. Siswa yang pergi ke lokasi untuk ibadah melewati gang itu setiap hari.

“Kami akan melawan pembangunan masjid sampai nafas terakhir kami,” bunyi salah satu spanduk yang menghiasi dinding rumah di sebelah lokasi pembangunan, saat kaki dan ekor babi terlihat digantung di sepanjang dinding.

Razaq mengecam tindakan warga sebagai Islamofobia murni. “Mereka mengadakan aksi unjuk rasa melawan Islam, mereka menyebut kami teroris, mereka memasang spanduk menentang agama kami, mereka membagikan pamflet kebencian terhadap Muslim di daerah kami, tindakan ini bisa disebut apa? Ini murni Islamofobia,” kata Razaq, dilansir dari laman SCMP, Rabu (28/12/2022).

Sekelompok aktivis hak asasi manusia setempat meminta Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan beragama, untuk mendesak pejabat pemerintah pusat dan daerah Korea Selatan supaya turun tangan guna menghentikan penghalangan penduduk terhadap pekerjaan konstruksi dan segera memindahkan kepala babi.

Seruan ke PBB yang dibuat oleh gugus tugas untuk penyelesaian damai masalah masjid datang setelah otoritas lokal gagal untuk mengindahkan permintaan sebelumnya dari umat Islam untuk menghilangkan kepala babi. Pejabat kota mengatakan mereka tidak memiliki wewenang untuk membersihkan kepala babi tanpa persetujuan dari penduduk, karena itu adalah barang berguna yang dibeli oleh warga negara.

Petisi tersebut juga meminta Pelapor Khusus PBB merekomendasikan pemerintah dan otoritas lokal untuk secara terbuka mengutuk segala bentuk diskriminasi berdasarkan agama atau ras tertentu, melakukan pendidikan tentang tugas netralitas agama dan anti-rasisme untuk semua pejabat publik Kota Daegu, dan memperbaiki semua kerusakan.

Konflik tersebut mengadu domba warga di sub distrik Daehyeon-dong dekat Universitas Nasional Kyungpook dan mahasiswa Muslim yang mendaftar di universitas tersebut serta baru memulai pembangunan masjid setelah memperoleh izin pemerintah setempat pada tahun 2020. Masjid dua lantai, dengan total luas lantai 245 meter persegi, sedang dibangun di sebuah area yang sebelumnya digunakan sebagai mushola.

Warga Keberatan dengan Pembangunan Masjid

Warga keberatan dengan pembangunan masjid tersebut dan mengajukan petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 10 ribu orang ke kantor distrik Daegu Buk-gu pada Februari 2021, menyerukan agar proyek tersebut dihentikan. Penduduk mengatakan masjid yang diusulkan akan menimbulkan kebisingan, memadati gang sempit dan merusak nilai real estat lingkungan karena calon pembeli dan penyewa akan berpaling dari daerah yang sering dikunjungi oleh umat Islam.

Pemerintah setempat memerintahkan penghentian segera pembangunan tersebut. Para mahasiswa Muslim kemudian membawa masalah ini ke pengadilan, di mana Pengadilan Distrik Daegu membatalkan perintah penghentian pembangunan. Putusan itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada September 2022.

Korea Selatan tidak memiliki agama resmi negara, tetapi dalam sensus 2015, 28 persen warga Korea Selatan mengatakan bahwa mereka beragama Kristen, dengan 15,5 persen lainnya menggambarkan diri mereka sebagai penganut Buddha. Jumlah Muslim di negara itu diperkirakan sekitar 200 ribu atau 0,4 persen dari 52 juta penduduk, menurut Federasi Muslim Korea.

Meski sudah ada putusan pengadilan, warga terus menghalang-halangi pembangunan masjid. “Mengapa kita harus tahan dengan itu? Siapa yang ingin memiliki masjid yang sering dikunjungi banyak orang tepat di sebelah rumah Anda?” kata Kim Jung-ae, perwakilan warga yang menentang usulan masjid tersebut kepada SCMP.

Ia menegaskan, gang tersebut merupakan bagian dari tanah pribadi milik warga. “Kami ingin melanjutkan cara hidup kami, apapun yang mungkin terjadi," katanya.

Razaq mengatakan komunitas Muslim terbuka untuk berdialog sejak hari pertama dan menawarkan solusi atas keprihatinan warga. Tetapi sayangnya tanggapan tetangga dan orang-orang yang mendukung mereka sangat kasar.

“Mereka hanya ingin kami pergi dari tempat ini, dan tidak kurang dari itu,” katanya.

“Sekarang karena konstruksi dilanjutkan, dan mereka mencoba yang terbaik untuk mengganggu kami dengan tindakan seperti menempatkan kepala babi, saya tidak yakin dialog seperti apa yang mungkin dilakukan dalam situasi seperti itu," jelasnya.

Razaq mengatakan, sangat mengecewakan pihak berwenang gagal menerapkan aturan hukum dengan membiarkan warga menghalangi pembangunan dan memblokir jalan meskipun ada perintah pengadilan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler