Membendung Polusi di Jakarta
Jika dihitung, pada 2020 biaya pengobatan akibat polusi setara Rp 60,8 triliun.
REPUBLIKA.CO.ID, Pagi-pagi sekali, Cepi (51 tahun), warga Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara (Jakut) membawa dua sepeda ontel sewaannya ke kawasan Kota Tua, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat (Jakbar). Sambil memandangi orang-orang yang berlalu lalang, matanya mengikuti arah asap rokok yang sesekali diembuskan dari bawah pohon di depan Museum Fatahillah.
Tidak sendiri, beberapa penyedia jasa rental sepeda di sana juga melakukan hal yang sama. Sejenak, lalu lalang orang berubah menjadi kendaraan yang silih lewat. Sesaat kemudian, Cepi lupa; pandangannya teralihkan dari asap rokok ke asap kendaraan yang baru saja lewat.
"Katanya sudah ada Low Emission Zone (LEZ) di sini, tapi tidak berpengaruh. Kendaraan masih bandel," kata Cepi yang juga ketua paguyuban sepeda ontel di Kota Tua kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Lahir dan besar di perbatasan Jakbar-Jakut, Cepi mengaku, jika kondisi Kota Tua dan sekitarnya tak banyak berubah. Aturan LEZ di lokasi tersebut tidak membatasi lalu lintas kendaraan maupun polusi yang ditimbulkannya. "LEZ dan revitalisasi Kota Tua memang bagus. Tapi kalau soal polusi, sepertinya tidak ada perubahan sama sekali," ujarnya.
Pendapat Susi (39) tak jauh berbeda. Warga Tebet Barat, dekat kawasan Tebet Eco Park, Jakarta Selatan mengeluhkan kemacetan lalu lintas dan polusi yang ditimbulkannya bagi kesehatan keluarganya. Meski ada LEZ Tebet, katanya, masih kurang terpusat. "Jadi ya, area hijaunya tidak merata dibanding kendaraan yang lewat. Aman mungkin di akhir pekan. Tapi selebihnya sama," kata Susi.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sejauh ini telah menerapkan dua kawasan LEZ untuk mengurangi angka pencemaran lingkungan, yakni di Kota Tua dan Tebet. Khusus untuk kawasan Kota Tua yang sebagian besar digunakan sebagai jalur pejalan kaki, terdapat kawasan LEZ di Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Kali Besar Timur, Jalan Kunir dan Jalan Kemukus, serta Jalan Lada.
Kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil tidak diperbolehkan melewati lokasi. Selain pejalan kaki, sepeda, bus Transjakarta, dan mobil listrik, kendaraan lain dilarang melintasi kawasan tersebut. Hal yang sama juga berlaku di LEZ Tebet Eco Park saat akhir pekan. Di kawasan ini, LEZ hanya berlaku untuk dua ruas jalan, Tebet Timur Raya dan Tebet Barat Raya.
Dengan luas 661,5 kilometer persegi (km2), Jakarta dan jutaan kendaraan di dalamnya, menjadikan kawasan hijau Ibu Kota memang luasnya belum ideal. Hal itu patut disayangkan. Cepi dan Susi hanya dua dari sekian banyak warga asli di sekitar Jakarta yang mengeluhkan kualitas udara yang tak kunjung berubah.
Mereka berharap ada peningkatan kualitas udara secara bertahap dan nyata dengan penegakan hukum yang lebih baik. Selama ini, diakui atau tidak, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI yang membawahi LEZ dan transportasi di Jakarta masih kesulitan mengurangi polusi. Menurut Kepala Dishub DKI, Syafrin Liputo, penerapan LEZ memang belum menyeluruh.
"Untuk mengevaluasi kualitas udara secara lebih komprehensif, disarankan kepada instansi terkait juga melakukan pengukuran kualitas udara secara berkala," kata Syafrin.
Namun, dia bangga, sejauh ini, telah terjadi penurunan kadar PM 2.5 (debu) dan penurunan kandungan sulfur dioksida (SO2) di kawasan Kota Tua. Syafrin menjelaskan, kandungan SO2 turun menjadi 49 pada hari terakhir uji coba, dan PM 2.5 turun menjadi 18 pada akhir uji coba. Perhitungan uji coba dilakukan pada medio Februari 2021.
Menurut data pemantauan kualitas udara di Kota Tua sebelum 8 Februari 2022, didasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), kata Syafrin, hasilnya stagnan di angka 53-58. Sedangkan setelah dilakukan pengujian pada akhir Februari lalu, ISPU berjumlah 49. "Kabar baik ini bisa menjadi dasar perluasan kawasan LEZ di wilayah kota lainnya," ucapnya, belum lama ini.
Berbeda dengan Kota Tua, Syafrin mengaku, belum ada pengukuran kualitas udara di Tebet Eco Park. Padahal November 2022, kata dia, sudah ada koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI dalam penggunaan alat sensor murah untuk mengukur kualitas udara di dua kawasan LEZ.
"Terkait manajemen lalu lintas di kawasan Tebet Eco Park, evaluasi yang dilakukan hanya pada jumlah pengunjung saja," jelasnya.
Syafrin menerangkan, memang terjadi peningkatan kualitas udara di Kota Tua, termasuk Tebet Eco Park. Namun demikian, terjadi penurunan kualitas udara yang lebih masif berdasarkan pantauan Republika.co.id, beberapa hari terakhir dengan menggunakan Breezo Meter Air Quality pada 11-17 Desember 2022.
Pada Ahad (11/12), di Kota Tua, sekitar Kantor Pos Jalan Kunir Nomor 2, angka ISPU sekitar 57 (moderate). Pada Senin (12/12), ISPU masih berstatus moderat, 51. Pemantauan tersebut stagnan dari Selasa hingga Kamis.
Pada Jumat (16/12) di Kota Tua sekitar pukul 10.49 WIB, ISPU melonjak menjadi 62 meski masih dalam status moderate. Keesokan harinya, di lokasi yang sama, ISPU melonjak menjadi 66.
Pemprov DKI mengakui, upaya pengurangan polusi masih perlu ditingkatkan dan belum optimal. Apalagi kendaraan di Jakarta setiap tahunnya terus bertambah seiring dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang masif.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Widyastuti mengatakan, tingkat pencemaran yang merugikan berdampak nyata pada pernapasan warga. Namun, dia menegaskan, jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit pernapasan lainnya di DKI sudah sesuai standar.
Padahal selama ini, Jakarta kerap dinobatkan sebagai salah satu kota paling tercemar di dunia berdasarkan pemantauan IQair. "Sejauh ini jumlahnya terkendali, dan itu menjadi patokan kami, terutama untuk anak-anak,' kata Widyastuti.
Ditanya data daerah dan jumlah pasien pernapasan di DKI selain Covid-19, pihaknya belum bisa memastikan. Alasannya, kata dia, perlu kajian lebih mendalam. Menurut Widyastuti, pemantauan masih berdasarkan kunjungan ke rumah sakit dan puskesmas. "Terkait penderita, kita lihat menurut kelompok geografis. Selama ini sebaran penderita pernapasan di setiap wilayah DKI relatif sama," jelasnya.
Menurut penelitian Masyarakat Eropa untuk Onkologi Medis di Paris, polusi menyebabkan kanker dan infeksi pernapasan. Dalam sebuah studi oleh WHO South-East Asia Journal of Public Health, disebutkan fakta lain, polusi udara dan dampaknya adalah masalah yang dilaporkan paling kecil.
Hal ini juga ditunjukkan dengan pendataan penyakit ISPA di Jabodetabek yang sangat sedikit (BPS 2020 terbaru hanya memasukkan data tahun 2018). Padahal, sudah terbukti; dampak nyata dirasakan, dengan puluhan juta orang di Jakarta terpaksa menghirup udara tercemar seperti karbon monoksida, sulfur dioksida dan nitrogen dioksida.
Berdasarkan riset Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020 bertajuk 'Analisis manfaat biaya kualitas bahan bakar untuk inisiatif ekonomi di Indonesia 2010', Jakarta, khususnya, sejak 2010 menjadi lokasi penyumbang terbanyak terkait PM 2.5, dengan rata-rata 36 kematian per 100 ribu orang.
Jumlah itu terus bertambah hingga sekarang. Masih dalam riset yang sama, pada 2010 saja, laporan biaya pengobatan langsung akibat polusi setara Rp 60,8 triliun jika dihitung pada 2020.
Tak hanya itu, dikutip data terakhir di smartcity.jakarta.go.id pada 2017, ditemukan infeksi akut dan saluran pernapasan atas mendominasi belasan kecamatan di Jakarta, dengan rata-rata 1.000 kasus per kecamatan. Hal itu diperparah jika mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, terjadi peningkatan signifikan kendaraan bermotor di Jakarta setiap tahunnya.
Jika pada 2017 jumlah kendaraan bermotor hanya 17,6 juta, jumlahnya meningkat pesat pada 2021 menjadi 21,8 juta. Tahun 2018 jumlah kendaraan bermotor sekitar 18,8 juta dan tahun 2019 sebanyak 19,9 juta, sedangkan tahun 2020 jumlah kendaraan bermotor mencapai 20,2 juta. Artinya, kenaikannya stagnan dengan penambahan rata-rata satu juta kendaraan setiap tahun.
Dari total pada tahun 2021, sekitar 75,92 persen kendaraan didominasi oleh kendaraan roda dua, sedangkan mobil 18,89 persen, truk 3,61 persen, bus 1,57 persen dan lainnya. Masih mengutip data BPS, jumlah kendaraan mobil pribadi di DKI sejak 2018 yang masuk kategori tersebut lebih dari tiga tahun (menurut wajib uji emisi) sekitar 2,7 juta unit.
Angka itu masih terlalu banyak jika mengutip perhitungan sistem uji emisi DKI https://ujiemisi.jakarta.go.id/ hingga Jumat (16/12/2022), jumlah pengujian masih sekitar 768.881 mobil dan 67.322 sepeda motor. Perlu diperjelas berapa banyak yang lulus atau gagal mengikuti uji emisi.
Melihat hal tersebut, Pemprov DKI mencari cara lain dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat untuk memerangi polusi. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) atau yang biasa disebut GDPPU.
Menurut Asep, rangkaian strategi tersebut, antara lain pengendalian pencemaran udara dari hulu hingga hilir. "Mulai dari menyusun dan merevisi kebijakan hingga pengawasan dan penegakan hukum," kata Asep.
Terkait implementasi, Asep mengaku, Pemprov DKI membutuhkan bantuan untuk menjalankan berbagai strategi tersebut. Karena itu, pihaknya mengupayakan perjanjian kerja sama (PKS) dengan beberapa daerah di Bodetabek untuk mengurangi polusi udara. "Jadi saat ini Pemprov DKI sedang menyusun perjanjian kerjasama dengan Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan Kota Bekasi," ujarnya.
Mulai saat ini, Asep memastikan, daerah lain akan ikut melancarkan strategi pengendalian. Disinggung bentuk kerja sama ke depan, ia sedang mengupayakan pengaturan uji emisi bersama dan perumusan kebijakan berkelanjutan.
Lalu, bagaimana tanggapan pemerintah daerah penyangga Jakarta terkait wacana kerja sama pemberantasan polusi? Kepala DLH Kota Tangsel, Wahyunoto, mengatakan, pihaknya menyambut baik dan mendukung penuh perbaikan kualitas udara di kawasan aglomerasi Jabodetabek.
Apalagi, kata dia, Tangsel selama ini merupakan daerah dengan tingkat pencemaran paling rendah namun mengalami dampak pencemaran yang parah. "Kami DLH secara rutin mendukung uji emisi kendaraan bermotor," kata Wahyunoto. Ia mengimbau agar program ini terus dilakukan secara bersama-sama.
Terpisah, Wakil Wali Kota Bogor Dedie Abdu Rachim mengakui banyak warganya yang melintasi kawasan aglomerasi dan DKI Jakarta menggunakan kendaraan pribadi. Dia mengakui, pencemaran di kawasan aglomerasi banyak disebabkan oleh kendaraan pribadi. "Karena itu Pemkot Bogor mendorong penggunaan KRL (kereta rel listrik) yang bisa lebih terintegrasi sebagai salah satu sarana transportasi dari Bogor ke Jakarta," ujar Dedie.
Terkait peningkatan uji emisi, dia meminta pemerintah pusat mengintegrasikan transportasi lokal berbasis rel di setiap daerah. Jadi, tidak menutup kemungkinan angkutan umum massal bisa menjadi satu kesatuan. "Kami maunya segera mempraktekan. Tujuannya buat ngurangin ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi," jelas Dedie.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, sependapat dengan pernyataan Dedie. Ia mengatakan, selama berbagai aktivitas masih terpusat di Jakarta, polusi transportasi sulit dikurangi atau dihilangkan. Menurut dia, akan tetap sama meski ada LEZ di dua wilayah di Jakarta.
"Tegakkan saja aturannya. Jadi kalau kendaraan bermotor tidak boleh masuk ke sana, jangan masuk. Pembatasan itu penting agar aturan yang jelas bisa dipatuhi," ujar Yayat.
Menyoal kerja sama Jakarta dalam mengurangi polusi dengan pemerintah daerah pendukungnya, kata Yayat, memang rencana yang bagus. Dia setuju beberapa ketentuan harus saling mengikat dan disertai dengan fasilitas transportasi umum massal yang lebih baik.
"Memang harus ada skenario yang lebih tegas, jangan setengah-setengah, bentuk dan indikator pencapaiannya juga harus terukur," ujarnya.
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia (UI) Ellen SW mengatakan, dalam penerapan kebijakan LEZ di suatu daerah, sangat diperlukan evaluasi pengukuran kualitas udara. Karena itu, dia mengkritisi Pemprov DKI yang tidak melakukan hal-hal esensial tersebut.
"Itu yang pertama. Kedua, harus ada larangan dan sanksi yang jelas terhadap kendaraan yang melintas. Perlu pengawasan dan rambu-rambu yang jelas," kata Ellen.
Dia meminta, setelah laporan dan evaluasi pengurangan tingkat polusi, pembuat kebijakan dapat mempublikasikan hasilnya. Ellen menjelaskan, terlepas dari hasilnya, keterbukaan informasi sangat penting. "Jadi bukan hanya sanksi. Pemerintah harus punya milestone," ujarnya.
"Laporan ini dibuat dengan dukungan dari Internews' Earth Journalism Network."