Nasib Perempuan-Perempuan Afganistan
Kebijakan yang ditempuh Taliban menandai titik terendah baru dalam pelanggaran HAM.
Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Di penghujung tahun 2022, Taliban mengeluarkan dua kebijakan kontroversial. Pertama pada 20 Desember 2022, Taliban melarang perempuan di Afghanistan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Keputusan itu diumumkan setelah rapat pemerintah dan beberapa minggu setelah para siswa perempuan Afghanistan mengikuti ujian kelulusan sekolah menengah atas.
Sebuah surat yang dibagikan memerintahkan kepada universitas swasta dan negeri untuk menerapkan larangan tersebut sesegera mungkin. Surat tersebut diunggah di Twitter tanpa ada rincian lebih lanjut.
Taliban beranggapan larangan perempuan berkuliah diperlukan untuk mencegah percampuran gender di universitas. Mereka juga meyakini beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus melanggar prinsip-prinsip Islam. Misalnya saja perempuan belajar tentang pertanian dan teknik yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Afghanistan. Taliban beranggapan anak perempuan harus belajar, tetapi tidak di bidang yang bertentangan dengan Islam dan kehormatan Afghanistan.
Selang beberapa hari kemudian, tepatnya pada 24 Desember 2022, Taliban kembali mengeluarkan kebijakan yang memerintahkan LSM lokal dan asing di Afghanistan untuk tidak membiarkan staf perempuan di lembaga mereka bekerja hingga pemberitahuan lebih lanjut. Pelarangan perempuan Afghanistan bekerja di LSM diberlakukan karena sejumlah pegawai tidak mematuhi interpretasi tentang aturan berpakaian Islami bagi perempuan. Taliban mengancam akan menangguhkan izin operasi LSM asing jika mereka gagal melaksanakan perintah tersebut.
Sejak pengumuman tersebut, sudah terdapat lima LSM asing yang akan menangguhkan pekerjaan atau operasinya di Afghanistan dan jumlahnya mungkin bertambah. Mereka antara lain Christian Aid, Save the Children, the Norwegian Refugee Council, CARE, dan The International Rescue Committee.
Larangan mempekerjakan staf perempuan di LSM akan membatasi kemampuan organisasi untuk membantu banyak orang yang membutuhkan. Karena ada belasan LSM beroperasi di daerah terpencil Afghanistan dan banyak dari karyawan mereka adalah perempuan.
Keberadaan LSM ini dibutuhkan di saat jutaan orang di seluruh Afghanistan bergantung pada bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh donor internasional melalui jaringan LSM. Apalagi krisis ekonomi Afghanistan semakin memburuk sejak Taliban merebut kekuasaan pada Agustus tahun lalu yang mengakibatkan aset Afghanistan senilai miliaran dolar dibekukan dan bantuan dari donor asing dihentikan.
Dekrit-dekrit Taliban yang melarang perempuan Afghanistan mengenyam pendidikan hingga bekerja di LSM adalah pembatasan keras lainnya terhadap hak asasi dan kebebasan perempuan di negara tersebut. Pelarangan itu merupakan pelanggaran mencolok terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Taliban telah melanggar janjinya sendiri.
Sejak kembali mengambil alih Afghanistan, Taliban menjanjikan aturan yang lebih moderat, termasuk menghormati hak-hak perempuan dan minoritas. Namun Taliban secara luas menerapkan interpretasi mereka yang ketat terhadap hukum Islam, atau Syariah.
Taliban telah melarang anak perempuan mengenyam pendidikan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Kemudian, Taliban membatasi perempuan untuk bekerja baik di LSM ataupun di sekotr pemerintahan. Taliban memerintahkan mereka mengenakan pakaian yang menutup kepala hingga ujung kaki atau burqa di depan umum. Perempuan juga dilarang pergi tanpa ditemani kerabat laki-laki meski hanya ke taman atau pusat kebugaran.
Keputusan tersebut akan menghalangi upaya Taliban untuk mendapatkan pengakuan dari calon donor internasional di saat Afghanistan terperosok dalam krisis kemanusiaan yang memburuk. Taliban juga tidak bisa berharap menjadi anggota sah masyarakat internasional sampai mereka menghormati hak semua warga Afghanistan. Termasuk permintaan Taliban mewakili Afghanistan di PBB yang kembali ditangguhkan.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh Taliban menandai titik terendah baru dalam pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar dan universal untuk seluruh umat manusia.
Lalu apa yang tersisa untuk perempuan-perempuan Afganistan?