Demokrat Tolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022

Partai Demokrat merupakan partai yang sejak awal di DPR menolak UU Cipta Kerja.

Dokumentasi Pribadi.
Ketua DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon (kiri).
Rep: Wahyu Suryana Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat menyatakan menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang dikeluarkan pemerintah. Wasekjen Partai Demokrat Jansen Sitindaon mengatakan, Partai Demokrat merupakan partai yang sejak awal di DPR menolak UU Cipta Kerja.


Dia menerangkan, pertimbangan Putusan MK dalam halaman 412 angka 3.19 telah secara tegas menyatakan UU Ciptaker 11/2020 ini cacat formil. Hal itu lantaran proses pembentukannya dinyatakan tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.

Halaman 413-414 angka 3.20.1, 3.20.2, 3.20.3, 3.20.4 dan amar putusan halaman 416-417 angka 3 dan 5, MK menegaskan UU Ciptaker ini inkonstitusional secara bersyarat. Untuk itu, MK memberi kesempatan dua tahun pembentuk UU memperbaiki.

"Jika itu tidak dilakukan, UU Ciptaker ini akan inkonstitusional secara permanen dan aturan lama yang telah dicabut berlaku kembali agar tidak terjadi kekosongan hukum," kata Jansen, Sabtu (1/1).

Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2022 terkait UU Ciptaker dikeluarkan 3 November 2021, jatuh tempo sampai November 2023. Jika memiliki niat baik dengan waktu begitu lama harusnya pemerintah membawa kembali UU ke DPR untuk dibahas dan diperbaiki.

"Bukan malah tiba-tiba hari ini mengeluarkan Perppu," ujar Jansen.

Amar Putusan MK angka 7 halaman 417 secara tegas dinyatakan agar menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Jadi, UU Ciptaker yang cacat formil bukan presiden atau pemerintah keluarkan perppu.

Namun, dibahas dan diperbaiki kembali dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih maksimal dan bermakna sebagaimana kata-kata dalam putusan MK itu sendiri. Karenanya, atas tindakan itu, Partai Demokrat menyampaikan sikap.

Partai Demokrat menilai, tindakan pemerintah hari ini mengeluarkan Perppu telah nyata-nyata mengangkangi dan tidak sesuai putusan MK yang seharusnya dipatuhi. Jika pemerintah tidak mematuhi putusan hukum, bagaimana rakyat diminta patuh.

"Ini bukan contoh yang baik dalam bernegara," kata Jansen.

Terkait keadaan darurat, mendesak dan memaksa, ia melihat itu tidak terpenuhi, walau subyektif presiden menilainya. Namun, presiden sendiri menyatakan keadaan baik-baik saja. Ini bertolak belakang dengan syarat-syarat keluarnya Perppu.

Karena ini negara hukum, keadaan darurat bisa pula diukur publik yang bagian dari masyarakat hukum Indonesia. Penilaian subyektif presiden bukan titah yang serta merta harus jadi hukum. Lalu, ada sistem perlembagaan check and balances.

Apalagi, UU Ciptaker ini sejak awal banyak ditolak masyarakat dan berakhir diuji ke MK. Untuk itu, Jansen menegaskan, dalam masa sidang-sedang berikutnya, DPR RI seharusnya menolak Perppu ini dan patuh kepada putusan MK untuk UU diperbaiki.

"Jikapun tidak, karena dominannya kursi blok pemerintah di parlemen, kami Partai Demokrat melalui fraksi di DPR akan menolak ini," ujar Jansen.

Selain itu, karena kita ini Negara Hukum, harusnya putusan MK dalam kasus UU Ciptaker inilah yang jadi pegangan semua, tidak terkecuali pemerintah. Yang mana, juga jadi pihak dalam perkara ini dan argumennya telah didengar MK.

"Oleh MK, UU Ciptaker ini telah dinyatakan cacat formil. Harusnya diperbaiki, bukan malah diterabas dengan mengeluarkan Perpu karena merasa punya hak dan kuasa untuk itu," kata Jansen. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler