Perppu Cipta Kerja Runtuhkan Supremasi Konstitusi

Penerbitan Perppu Cipta Kerja runtuhkan supremasi konstitusi

Republika/Thoudy Badai
Seorang buruh yang melakukan aksu unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. (ilustrasi).
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Zuhad Aji Firmantoro, SH, MH.


(Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

 

Salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan tanggal 25 November 2021. Dengan demikian, pembuat undang–undang memiliki batas waktu perbaikan paling lambat tanggal 25 November 2023.

Meski begitu, pada tanggal 30 Desember 2022 lalu, kita dikejutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pemerintah menyatakan perppu ini adalah tindak lanjut dari putusan MK tersebut. Pro dan kontra segera bermunculan pasca-perppu ini dikeluarkan. Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit yang mengkritiknya.

Perppu tanpa kegentingan yang memaksa

Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) memberikan kewenangan kepada presiden untuk menerbitkan perppu, dengan syarat adanya kegentingan yang memaksa. UUD 1945 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dari kegentingan yang memaksa. 

Namun, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan adanya 3 (tiga) syarat objektif suatu keadaan disebut sebagai kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama.

Baca juga : 'Harusnya UU Ciptaker Diperbaiki, Bukannya Diterabas dengan Perppu'

Tentang kebutuhan yang mendesak. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) melalui Instagram pribadinya mengenai alasan kegentingan yang memaksa itu. Menurut dia, hal itu terletak pada perkembangan geopolitik, seperti terkait perang Rusia-Ukraina, ancaman inflasi, stagflasi, perlunya kepastian bagi investor, dan lain-lain.

Uniknya, salah satu hal dalam penjelasan Mahfud, yakni dalam soal keadaan ekonomi, berbeda dengan pernyataan Jokowi selaku kepala negara. Presiden sebelumnya dengan nada penuh keyakinan dan optimisme menyatakan soal ekonomi negara dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan, seperti yang disampaikan dalam Instagram pribadinya, Presiden Jokowi menyebutkan, bila Indonesia cukup berhasil melewati masa-masa sulit pandemi dan ancaman resesi. Perekonomian Indonesia ditegaskan tumbuh positif sepanjang tahun. Selain itu, situasi politik dan keamanan dalam negeri pun kondusif, pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia berjalan sesuai rencana, dan lain sebagainya. Pendek kata, Indonesia, menurut Jokowi, keadaannya baik-baik saja dan tak berada dalam situasi genting.

 

 

 

Paradoks

Paradoks antara pernyataan Mahfud dan Jokowi juga terlihat jelas bila mengacu pada data ekonomi yang disajikan Center of Economic and Law Studies (Celios).

Data tersebut menunjukkan adanya asumsi makro bila ekonomi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023 pertumbuhan ekonominya cenderung tinggi sebesar 5,3 persen. Hak ini artinya, ekonomi Indonesia masih tumbuh positifDampak perang Ukraina-Rusia terhadap ekonomi Indonesia juga tidak terlalu siknifikan. Bahkan, yang terjadi adanya perang dari kedua negara itu justru menguntungkan berupa kenaikan dari dua harga komoditas, yakni batu bara dan sawit. 

Akibat perang Ukraina dan Rusia itu, neraca perdagangan Indonesia pun mengalami surplus. Indonesia mendapat windfall dari adanya perang di Ukraina itu. Alhasil, diperkirakan kehadiran perppu ini akan kontra produktif terhadap minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Ini karena akan muncul kesan bagi mereka bahwa Pemerintah Indonesia sangat rentan atau gampang melakukan perubahan terhadap hukum dan perundangan. 

Perppu menyepelekan putusan MK

Pertimbangan hukum MK secara tegas menyebutkan bahwa tujuan besar dari pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tidak boleh mengabaikan tata cara atau prosedur baku dalam pembentukan UU. MK berpendapat bahwa tujuan dan cara dalam pembentukan UU pada prinsipnya, tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional.

Selanjutnya, MK juga menjelaskan, salah satu letak kesalahan formil dalam tata cara pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal itu adalah adanya ruang partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU ini yang sangat sempit. Padahal, konstitusi telah menjamin kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang secara penuh dan luas. Hal ini juga sebagai wujud dari penerapan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. 

Baca juga : Jumlah Investor Pasar Modal Tembus 10,3 Juta, Didominasi Anak Muda

Pada sisi lain, selain mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat, adanya ruang partisipasi masyarakat secara luas dalam pembentukan sebuah perundangan juga merupakan wujud lain dari hak setiap warga negara untuk memperoleh kedudukan yang sama di muka hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 (2) UUD 1945. MK pun dalam pembentukan UU mempunyai prasyarat mengenai  hak rakyat dalam pembentukan perundangan, yakni hak untuk didengar (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan (right to be considered);  c) hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Sayangnya, semangat MK itu tidak disambut baik oleh pemerintah yang dengan mudahnya mengeluarkan perppu. Perppu memang secara sah merupakan peraturan setingkat UU. Tetapi legitimasinya, tidak bisa sekuat UU karena proses pembentukan perppu yang tidak memerlukan partisipasi masyarakat, sebagaimana yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014. Cukup DPR menyetujuinya maka perppu pun langsung menjadi UU.

 

 

 

 

Supremasi konstitusi runtuh

Saat ini, pemerintah sesungguhnya masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sesuai perintah putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan MK itu menghendaki perbaikan utamanya dalam prosedur pembentukannya. Karena itu, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi tidak relevan dikeluarkan sebagai jawaban atas perintah putusan MK.

Penghormatan kepada MK adalah penghormatan pada konstitusi. Karena MK merupakan lembaga penjaga konstitusi. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final…”. 

Dengan demikian, Presiden sebagai pimpinan tertinggi negara, terikat kewajiban untuk mematuhi segala putusan MK. Jika tidak, pertaruhannya sangat serius, yaitu hilangnya kewibawaan konstitusi sebagai basis berbangsa dan bernegara.

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler