Riset: Warga Timur Tengah Cemaskan Kondisi Ekonomi
Hanya lima persen yang mengatakan mereka memiliki optimisme untuk masa depan.
REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pusat Penelitian dan Studi Kebijakan Arab (ACRPS) mengungkapkan, warga dunia Arab semakin khawatir tentang situasi sosial ekonomi saat ini. Mereka merasa pemerintah negaranya tidak berbuat cukup untuk meningkatkan kondisi kehidupan dan ekonominya.
Dalam laporan 2022 yang dirilis pada Selasa (3/1/2023), ACRPS menyurvei warga 14 negara Arab dari Teluk, Levant, dan Afrika Utara. ACRPS menanyakan pandangan mereka tentang berbagai masalah mulai dari aktivisme politik, ekonomi, masyarakat, agama, penggunaan media sosial, dan banyak lagi.
Studi tersebut menemukan, 52 persen warga yang diwawancarai percaya negara mereka pada umumnya menuju ke arah yang salah dibandingkan 42 persen yang memberikan jawaban positif. Dilansir The New Arab, Selasa (3/1/2023), kondisi ini membuat jutaan keluarga bergantung pada bantuan dan terpaksa menjual properti karena kurangnya dukungan dari pemerintah.
Banyak warga yang tidak senang dengan jalannya program pemerintah di negara mereka dengan alasan yang berbeda, terutama keadaan ekonomi, ketidakstabilan politik, dan pemerintahan yang buruk. Stabilitas politik, tata pemerintahan yang baik, atau peningkatan keselamatan, keamanan, atau situasi ekonomi negara mereka adalah alasan utama yang diberikan oleh mereka yang merespons secara positif.
Hanya lima persen yang mengatakan mereka memiliki optimisme untuk masa depan. Kemudian hanya tiga negara di mana lebih dari 50 persen responden mengatakan mereka melihat negara mereka menuju arah yang benar, yaitu negara Qatar, Arab Saudi, dan Kuwait. Hanya tiga persen responden Lebanon yang memberikan jawaban positif, terendah di antara 14 negara.
Sebagian besar responden, yakni 42 persen, mengatakan, keluarga mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar, tetapi tidak memiliki cukup uang untuk ditabung. Sebanyak 28 persen menyatakan, keluarga mereka membutuhkan dan tidak memiliki cukup uang untuk menutupi pengeluaran mereka.
Seperempat responden mengatakan, pendapatan mereka lebih dari yang mereka butuhkan pada 2022 dibandingkan 27 persen pada 2019/2020. Sebanyak 28 persen lainnya mengatakan, mereka tidak punya cukup uang pada 2022 dibandingkan 26 persen pada 2019/2020.
Hanya tujuh persen responden di negara Teluk menyampaikan pendapatan mereka tidak cukup untuk menutupi pengeluaran, dibandingkan 47 persen di Levant, wilayah yang mencakup Lebanon, Yordania, Palestina, dan Suriah yang dilanda perang.
Studi tersebut menunjukkan, 33 persen keluarga yang membutuhkan meminta bantuan keuangan kepada kenalan, teman, dan kerabat. Enam belas persen dari mereka mengandalkan bantuan dari teman dan keluarga, sedangkan 13 persen bergantung pada pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan.
Menurut 18 persen responden, bantuan dari badan amal adalah sumber pendapatan utama bagi keluarga. Sementara 10 persen terpaksa menjual properti mereka. ACRPS mengatakan ini menunjukkan bahwa solidaritas sosial dengan mereka yang membutuhkan tetap lebih besar daripada kerja lembaga amal di masyarakat rentan.
Studi ACRPS juga menunjukkan, mayoritas responden ingin melihat pemerintah menangani ekonomi mereka dengan lebih baik dan memperbaiki situasi ekonomi mereka.
Inflasi tanpa henti telah melanda ekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara pada 2022. Hal ini membuat orang miskin dan kelas menengah terekspos dan rentan terhadap guncangan harga. Harga pangan di seluruh kawasan telah melonjak secara besar-besaran karena pasokan energi global menanggapi invasi Rusia ke Ukraina, dan perubahan iklim terus memengaruhi hasil panen di seluruh kawasan.