Ekonom Ungkap Hukum Aturan Pajak Penghasilan dan Pembayaran Zakat

Tarif progresif kelas terkaya ini yang seharusnya lebih diprioritaskan.

istimewa
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono. Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) menilai pemberlakukan aturan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 merupakan hal yang berbeda dibandingkan aturan pembayaran zakat penghasilan.
Rep: Novita Intan Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) menilai pemberlakukan aturan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 merupakan hal yang berbeda dibandingkan aturan pembayaran zakat penghasilan. Hal ini bisa terlihat dari aturan penghasilan tidak kena pajak.

Direktur Ideas Yusuf Wibisono mengatakan, dalam fikih zakat terdapat dua pendapat fikih. Pertama, zakat penghasilan dari penghasilan bruto tanpa dikurangkan penghasilan tidak kena pajak, yaitu kebutuhan yang bersifat dasar. Kedua, zakat penghasilan dari penghasilan neto, yaitu dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak. 

"Dalam fikih zakat, kebutuhan yang bersifat mendasar berbeda antarindividu sehingga standarnya cenderung diserahkan kepada individu bersangkutan," kata Yusuf ketika dihubungi Republika, Rabu (4/1/2023).

Menurutnya, pendapat fikih pertama yaitu berbasis penghasilan bruto, pembayaran zakat cenderung besar. Sedangkan pendapat fikih kedua yang berbasis penghasilan neto, pembayaran zakat cenderung lebih ringan.

Yusuf menjelaskan, soal pajak penghasilan, aturan batas penghasilan Rp 5 juta per bulan dikenakan tarif lima persen merupakan ketentuan lama yang berlaku sejak UU PPh 2008. Menurutnya, tidak ada perubahan sebenarnya dengan aturan baru.

"Kalau kita simulasikan, gaji Rp 5 juta per bulan, setahun Rp 60 juta, dikurangi PTKP Rp 54 juta, maka pendapatan kena pajak Rp 6 juta ini yang dikenakan tarif lima persen, yaitu Rp 300 ribu atau Rp 25 ribu per bulan," kata Yusu menjelaskan.

Untuk meningkatkan rasio pajak, menurutnya, kelas penghasilan di bawah ini memang tidak signifikan, meski jumlah wajib pajaknya besar. Yang potensinya lebih signifikan adalah kelas penghasilan yang baru diatur yaitu kelas diatas Rp 5 miliar, yang dikenakan tarif 35 persen.

"Tarif progresif dan peningkatan kepatuhan membayar kelas terkaya ini yang seharusnya lebih diprioritaskan," ucap Yusuf.

Menurutnya pada 2020, rasio pajak sebesar 8,3 persen dari produk domestik bruto. Pada masa pemulihan setelah pandemi, penyehatan APBN banyak terbantu oleh kenaikan harga komoditas global, yang membuat penerimaan perpajakan tumbuh 19,3 persen pada 2021 dan 34 persen pada 2022. 

"Akibatnya pada 2021-2022, rasio pajak nasional membaik signifikan sebesar 9,1 persen dari PDB pada 2021 dan kini mencapai 10,4 persen dari PDB pada 2022," ucapnya.

Baca Juga


 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler