Luhut Imbau Pemda Lawan OTT, KPK Ingatkan Pejabat Jauhi Korupsi

KPK menegaskan akan tetap menggelar OTT jika ditemukan dugaan korupsi.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati (kiri) saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (23/9/2022). Sudrajad Dimyati menjadi satu tersangka yang masuk dalam 10 operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2022. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Flori Sidebang, Amri Amrullah

Baca Juga


Dalam pidatonya di Rapat Koordinasi Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah 2023, di Jakarta, Selasa (17/1/2023), Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengajak pemerintah daerah melawan operasi tangkap tangan (OTT). Ia juga meminta kepala daerahmengurangi praktik korupsi dengan cara mengubah ekosistem pemerintahan jadi serba digital.

"Kita harus melawan OTT supaya kita menjadi negara yang bermartabat. Saya kira, kita tidak mau negara kita jadi negara yang dituduh tidak memiliki ekosistem yang bagus sehingga terjadi korupsi di Indonesia," kata Luhut.

Luhut menjelaskan, negara yang bermartabat adalah negara yang punya ekosistem yang baik lewat digitalisasi. Dia meyakini ekosistem pemerintahan yang sudah digitalisasi bakal menghilangkan OTT terhadap pejabat korup dan akan mengurangi kasus korupsi.

"Jadi jangan salah mengerti, pemerintah atau kami tidak ingin melihat OTT bukan karena itu. Kami tidak ingin negara kita yang begitu hebat dipuja puji orang, (tapi) masih ada OTT karena ekosistem kita tidak bagus," ujarnya dalam acara yang turut dihadiri Presiden Jokowi itu.

Sorotan Luhut terhadap OTT perkara korupsi bukanlah yang pertama. Pada pertengahan Desember 2022 lalu, Luhut menyebut OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat nama Indonesia menjadi buruk.

"Kita kalau mau bersih-bersih amat di surga sajalah Kau. Jadi KPK pun jangan pula sedikit-sedikit tangkap-tangkap. Itu enggak bagus juga, ya, lihat-lihatlah," kata Luhut ketika itu saat memberikan sambutan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2023-2024 di Jakarta.

Merespons Luhut, KPK meminta semua pihak agar menjauhi tindak pidana korupsi. KPK pun menegaskan tetap akan menggelar OTT jika memang ditemukan dugaan korupsi.

"Jadi kalau jauhi korupsi ya, tidak (mungkin) kemudian dilakukan tangkap tangan, kan begitu," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (18/1/2023).

Ali menegaskan, pihaknya tidak sembarangan melakukan OTT. Sebab, ia menyebut, KPK sudah memiliki alat bukti permulaan yang cukup mengenai adanya dugaan korupsi sebelum melakukan operasi senyap terhadap pejabat.

"Kami melakukan kegiatan tangkap tangan, tentu karena kemudian menemukan bukti awal ada dugaan transaksi yang dilakukan oleh penyelenggara negara terkait dengan tindak pidana korupsi, kan begitu," tegas dia.

"Kalau kemudian siapa pun tidak melakukan tindak pidana korupsi, ya pasti tidak ditangkap, begitu kan?" tambahnya menjelaskan.

Selama 2022, KPK menggelar 10 OTT. Di antara OTT yang menarik perhatian publik adalah penangkapan terhadap kepala daerah yakni Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan Bupati Bogor Ade Yasin; OTT terhadap Rektor Universitas Lampung Karomani, dan penangkapan terhadap Hakim Agung Sudradjad Dimyati.

Pada akhir tahun lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya mendorong agar perencanaan anggaran suatu daerah dilakukan berbasis elektronik dan terintegrasi. Ia menyebut, hal ini sebagai bentuk upaya pencegahan terjadinya korupsi.

"Dalam upaya pencegahan (korupsi), kami mendorong perencanaan penganggaran yang berbasis elektronik dan terintegrasi," kata Alex di Jakarta, Jumat (30/12/2022).

"Tujuannya apa, supaya masyarakat bisa memantau dan memonitor proses penganggaran sehingga tidak ada lagi anggaran siluman dan sebagainya tadi," tambahnya menjelaskan.

 

 

 


Pakar Hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengajak pemerintah daerah melawan OTT dan mengurangi praktik korupsi dengan cara mengubah ekosistem pemerintahan jadi serbadigital, dianggap kurang tepat. Apabila pernyataan itu dipakai alasan kepala daerah atau pejabat melakukan perlawanan terhadap upaya OTT KPK, menurut Feri, justru ia bisa dikenakan pasal penghasutan, karena bisa menghalang-halangi upaya penegakkan hukum.

"Saya pikir Pak Luhut bisa dikenakan tindakan penghasutan dalam upaya menggalang halangi aparat hukum dalam menegakkan dan menjalankan fungsi hukumnya. Pernyataan itu menunjukkan memang Pak Luhut tidak paham betul hukum, dan bagaimana seharusnya pejabat menghormati hukum," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) ini kepada wartawan, Rabu (18/1/2023).

Karena itu, Feri menekankan agar pejabat atau kepala daerah lebih baik sama sekali tidak melakukan korupsi, bila tidak ingin ada OTT. Karena kalau melakukan perlawanan saat KPK melakukan OTT, seperti yang disampaikan Menko Marves, justru bisa dikenakan pasal menghalang-halangi penegakkan hukum.

"Jadi saya pikir kalau akhirnya ada kepala daerah atau pejabat yang melakukan perlawanan dan penolakan terhadap OTT atas dasar pernyataan Pak Luhut itu, maka Pak Luhut bisa dikenakan pasal penghasutan," imbuhnya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menilai pernyataan Luhut soal penerapan digitalisasi mempersempit korupsi dan penolakan kepala daerah terhadap OTT KPK itu, harus dilihat konteksnya. Ia khawatir, jangan sampai ada pejabat yang menerima pernyataan tersebut di luar konteksnya.

"Saya kira harus dipahami konteksnya ya pernyataan Pak Luhut itu. Jika maksudnya bahwa seharusnya KPK mengedepankan fungsi preventif, artinya OTT sebagai tindakan represif KPK tentu menjadi dapat dipandang negatif," kata dia.

Karena itu, menurut Choirul Huda, tidak bisa pernyataan itu lepas dari konteksnya, harus bisa dipahami mengapa Pak Luhut berpendapat seperti itu. Sehingga ia berharap pernyataan Pak Luhut itu, tidak menimbulkan multitafsir yang tidak tetap di lapangan.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendukung kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan kasus-kasus korupsi. Salah satunya adalah OTT yang dinilainya sebagai upaya cepat untuk menangkap koruptor.

Menurut Sahroni, OTT dilakukan KPK ketika sudah mengantongi bukti kuat menindak para terduga koruptor. Apalagi sejumlah OTT terjadi ketika koruptor tengah melakukan transaksi yang berhubungan dengan kasusnya.

"Kalau memang ini dramatis, apa salahnya publik melihat langsung ada maling ditangkap? Kalau bisa ditangkap saat kejadian kenapa tidak. Sebab proses pembuktian jadi berlangsung lebih cepat dan mudah karena adanya barang bukti," ujar Sahroni lewat keterangannya yang sudah dikonfirmasi, Rabu (18/1/2023).

Di samping OTT, KPK juga perlu memperkuat sistem pengawasan dan pencegahan korupsi. KPK harus terus mengkaji dan mengevaluasi secara berkala agar sistem pencegahan berjalan dengan baik. 

"Tutup rapat-rapat segala celah korupsi. Dengan begitu saya yakin kita dapat lebih efektif dan efisien," ujar Sahroni.

 

Mahkamah Agung menerbitkan Perma No 1 tahun 2020, dimana aturan ini memungkinkan hakim untuk menjatuhkan pidana penjara seumur hidup bagi koruptor.re - (republika.do.id)

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler