Belajar dari Drakor, Dokter: Tiru Kebiasaan Santap Makanan Rumahan

Di drakor, orang Korea digambarkan menyukai makanan rumahan.

Republika/Gita Amanda
Bulgogi dan kimchi, kuliner Korea. Menurut dr Tan Shot Yen, masyarakat Korea sangat menghargai bahan pangan alami.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Adegan-adegan drama Korea juga bisa menjadi inspirasi bagi keluarga masa kini, yakni dalam membentuk kebiasaan makan yang baik. Reply 1988, contohnya, menggambarkan kehidupan masyarakat Korea.

"Baik yang hidup berkecukupan maupun berlebih, semua lebih sering mengonsumsi masakan ibu mereka alias masakan rumahan," ujar pakar nutrisi dr Tan Shot Yen saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (18/1/2023).

Sebaliknya, makanan instan "kastanya" dianggap lebih rendah. Istilahnya, itu hanya makanan saat kepepet.

Baca Juga



"Kalau Anda pecinta drakor seperti saya, kalau Anda lihat dan ikutin betul budaya mereka, kalau ada anggota keluarga mereka yang makan ramyeon, itu ditangisin. Kayak ramyeon makanan nista, 'Elo udah nggak punya makanan ya?'," kata dr Tan.

Tidak hanya di drakor, dr Tan pun melihat langsung budaya makan yang sama saat datang ke Korea. Ia menyebut masyarakat di sana sangat menghargai bahan pangan alami.

Ini terlihat di gerai kopi internasional populer, Starbucks, di Korea. Di sana tersedia rak khusus untuk camilan alami seperti ubi, kentang, dan jagung rebus.

Mereka juga menjual kudapan khas kafe, seperti croissant dan cake, namun tetap ada pilihan camilan alami. Dr Tan menyebut hal ini dapat terjadi di Korea tentu karena keterlibatan pemerintah atau stakeholder terkait, yang tegas menerapkan kebijakan terkhusus soal pangan.

"Bisa dibayangkan kemampuan negosiasi pemerintahnya itu jago banget, ini penting ya, dan mereka berhasil. Saya bangga dan sedih juga ngeliat orang Korea sambil ngopi makan jagung, everything is oke," kata dr Tan.

Dr Tan mengaku bangga melihat Korea, namun sedih melihat Indonesia ketika para orang tua justru berbangga memberikan anaknya makanan ultraproses. Itu juga yang membuat produsen pangan instan menjadi giras.

Karena apa? Masyarakat, menurut dr Tan, tidak memakan bahan itu sehingga dibuatlah produknya.

"Saya pernah berbincang sekali dengan salah seorang bisa dibilang orang penting dari produsen makanan kemasan Indonesia, saya tanya, 'Kenapa sih kalian bisa punya industri gila-gilaan?' Mereka jawab, 'Soalnya produk itu nggak dimakan sama orang Indonesia, jadi kami bikin'. Wow, ini gila juga ya," kata dia.

Singkong, misalnya, belakangan sudah jarang yang mengonsumsinya. Lalu, produsen membuatnya menjadi keripik singkong dan dimakan oleh konsumen.

"Inilah yang perlu disadari kembali oleh semua masyarakat Indonesia, untuk terus mengonsumsi bahan pangan alami yang menyehatkan," tutur dr Tan.

Negara-negara lain, menurut dr Tan, sebetulnya sangat cemburu pada Indonesia karena kekayaan pangan alaminya. Mereka pun menghargai umbi hingga kacang yang sulit ditemukan di sana. Seperti yang diucapkan Presiden Joko Widodo, para orang tua diharapkan tidak memberikan anaknya makanan ultraproses serta fokus memberikan masakan alami.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler