Usulan Bipih 2023 yang Dinilai Realistis dan Bisa Menghindarkan Jamaah dari Skema Ponzi
Kemenag mengusulkan Bipih 2023 sebesar Rp 69.193.733,60.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Nawir Arsyad Akbar, Antara
Saat memberikan paparan dalam Rapat Kerja bersama Komisi VIII DPR dengan agenda persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, pada Kamis (19/1/2023), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan usulan kementeriannya soal Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih). Menurutnya, besaran biaya haji yang dibayarkan jamaah haji untuk musim haji 1444 H/ Tahun 2023 sebesar Rp 69.193.733,60.
Jumlah itu, kata Yaqut, adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp 98.893.909,11. "Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Formulasi ini juga telah melalui proses kajian,” kata Yaqut di DPR.
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, usulan BPIH 2023 naik Rp 514.888,02. Namun, secara komposisi, ada perubahan signifikan antara komponen Bipih yang harus dibayarkan jemaah dan komponen yang anggarannya dialokasikan dari nilai manfaat (optimalisasi).
Menurut Yaqut, BPIH 2022 sebesar Rp 98.379.021,09 dengan komposisi Bipih sebesar Rp 39.886.009,00 atau 40,54 persen dan nilai manfaat optimalisasi sebesar Rp 58.493.012,09 atau 59,46 persen. Sementara, usulan Kemenag untuk BPIH 2023, sebesar Rp 98.893.909,11 dengan komposisi Bipih sebesar Rp 69.193.734,00 70 persen dan nilai manfaat optimalisasi sebesar Rp 29.700.175,11 atau 30 persen.
Yaqut memerinci, komponen yang dibebankan langsung kepada jamaah ini digunakan untuk membayar biaya penerbangan dari Embarkasi ke Arab Saudi pulang pergi sebesar Rp 33.979.784, akomodasi Makkah Rp 18.768.000,akomodasi di Madinah Rp5.601.840, biaya living cost Rp 4.080.000, dan visa Rp 1.224.000, dan paket layanan masyair Rp 5.540.109,60. Kebijakan formulasi komponen BPIH tersebut, ujar Yaqut, juga diambil dalam rangka menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang.
Menurut Yaqut, pembebanan Bipih harus menjaga prinsip istitha’ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya. “Itu usulaan pemerintah. Menurut kami, itu yang paling logis untuk menjaga supaya yang ada di BPKH itu tidak tergerus, ya dengan komposisi seperti itu. Jadi dana manfaat itu dikurangi, tinggal 30 persen, sementara yang 70 persen menjadi tanggung jawab jemaah,” katanya.
“Selain untuk menjaga itu (BPKH), yang kedua ini juga soal istitha'ah, kemampuan menjalankan ibadah. Kan, ada syarat jika mampu. Haji itu jika mampu. Kemampuan ini harus terukur, kami mengukurnya dengan nilai segitu,” lanjutnya.
Namun demikian, besaran ini baru sekedar usulan. Setelah menyampaikan usulan ini, Kemenag selanjutnya akan menunggu pembahasan di tingkat Panitia Kerja BPIH yang dibentuk Komisi VIII DPR.
“Ini baru usulan, berapa biaya yang nanti disepakati, tergantung pembicaraan di Panja (panitia kerja DPR),” katanya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menjelaskan, biaya ibadah haji pada 2023 yang ditetapkan sebesar Rp 98,8 juta masih merupakan usulan dari Kementerian Agama (Kemenag). Kendati demikian, pihaknya sudah membentuk Panja untuk mendalami usulan kenaikan tersebut.
"Kami akan membahasnya bersama pihak-pihak terkait sekaligus akan melakukan peninjauan lapangan terkait dengan nilai setiap komponen dari biaya haji," ujar Ace lewat pesan singkat, Ahad (22/1/2023).
Komisi VIII DPR juga akan memastikan nilai kontrak pemondokan, transportasi udara, konsumsi, dan berbagai komponen pokok lainnya. Termasuk melihat potensi untuk dilakukan efisiensi, serta memastikan nilai yang dicantumkan rasional atau tidak.
"Sebagai usulan tentu sah-sah saja, tapi ya perlu diperdalam setiap komponen pembiayaan haji itu. Aspek sustainibilitas keuangan haji memang harus menjadi pertimbangan," ujar Ace.
"Bagi kami, harus ada penjelasan yang rasional terkait dengan usulan tersebut. Kami bisa memahami jika memang diperlukan adanya penyesuaian dari harga komponen pembiayaan haji tahun ini," sambung politikus Partai Golkar itu.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Profesor Masnun Tahir menilai, usulan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) tahun 2023 sebesar Rp 69.193.733,60 logis dan realistis.
"Biaya itu logis dan realistis karena tentunya sudah berdasarkan kajian akademik dan kebutuhan empirik selama prosesi haji sekitar 40-an hari," ujarnya di Mataram, Ahad (22/1/2023).
Menurut Masnun, apa yang disampaikan pemerintah melalui Kemenag sudah transparan. Terlebih lagi hal ini sudah juga didiskusikan bersama seluruh pihak tentang biaya haji tersebut.
"Ini semua dilakukan untuk memastikan bahwa semua proses penyelenggaraan haji terbuka dan masyarakat mengetahui manajemen penyelenggaraan haji yang selama ini mungkin banyak yang tidak tahu, terutama komponen pembiayaan haji di satu sisi dan manajemen pengelolaan haji di sisi lain," kata ketua PWNU NTB ini.
Namun, ia mengingatkan, pemerintah perlu juga menjaga pelayanan haji, pada saat yang sama harus menjaga keberlanjutan nilai manfaat dari dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sebagaimana disampaikan berbagai pihak. Oleh karena itu, dia berharap semua pihak dapat menyikapi dengan jernih, logis, dan turut memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama calon jamaah haji.
"Insya Allah, mereka akan memahami, karena itu kita husnudzon saja. Insya Allah, calon jamaah haji kita punya istitha'ah secara maali (ONH) dan secara qalbiiy (modal spiritualitas). Sambil kita tunggu hasil pembahasan di Panja DPR, bagaimana format kebijakan pemerintah dalam mengkombinasikan subsidi dan istitha'ah calon jamaah haji," katanya.
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Asep Saepudin Jahar menilai, kenaikan Bipih menjadi Rp 69.193.733,60 rasional agar jamaah terhindar dari skema Ponzi. "Usulan sangat rasional, tepat, dan menghindari skema Ponzi," kata Asep dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (22/1/2023).
Dia mengatakan, berdasarkan data Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) 2010-2022 tampak nilai manfaat (NM) dana jamaah haji tidak mencerminkan nilai riil. Sebagai contoh, dalam waktu empat tahun 2010-2014 (NM 2010 Rp 4,45 juta; NM 2014 Rp 19,24 juta), nilai manfaat Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) di atas 400 persen.
"Ini mustahil. Inilah yang menjadi kekhawatiransehingga ada kecenderungan (peluang) skema Ponzi dalam penggunaan nilai manfaat dana haji," kata Asep.
Asep mengatakan, tidak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan skema Ponzikarena ada unsur ketidakadilan dan berbahaya untuk jangka panjang. Asep menegaskan, kenaikan Bipih menjadi penting sehingga biaya untuk berhaji didasarkan pada kebutuhan riil, subsidi pemerintah, dan terhindar dari penyalahgunaan keuangan.
Dia mengingatkan kasus yang menimpa calon jamaah umrah First Travel adalah akibat skema Ponzi. Di mana perusahaan menawarkan harga murah dan mengatur keuangan dengan skema Ponzi.
"Perputaran uang secara sepihak yang tidak transparan sama halnya dengan menginvestasikan uang tanpa persetujuan dari pendaftar," kata Asep.
Asep menyarankan, Kementerian Agama dalam hal ini diwakili Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah melakukan berbagai pangawasan komprehensif untuk menghindari kasus penggelapan dana jamaah haji. Masa tunggu haji yang lama, kata dia, jangan lantas dijadikan alasan bagi para oknum untuk menangguk keuntungan dari dana haji yang mengendap sembari menunggu pelunasan.
"Bagi perusahaan travel yang kedapatan melakukan itu, maka harus ditindak tegas," ujarnya.
Faktor lainnya, menurut Asep, adalah istitha'ah dan keadilan di mana dana haji yang relatif kurang rasional menjadikan penumpukan para calon jamaah hingga puluhan tahun. Menurutnya, jika hal ini tidak dibenahi akan berakibat pada spekulasi dana pada satu sisi dan masa tunggu yang tidak rasional, sehingga langkah Kemenag untuk menaikkan ongkos Bipih dengan landasan rasionalisasi ini perlu diapresiasi.