Sekjen PBB Peringatkan Pemilu Myanmar dalam Bayangan Kekerasan
Militer merebut kekuasaan pemerintah Myanmar pada 1 Februari 2021.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres hari Senin menyuarakan dukungan untuk aspirasi demokrasi rakyat Myanmar. Dia memperingatkan, pemilihan umum yang direncanakan militer di tengah tindakan keras terhadap warga sipil dan pemimpin politik berisiko memperburuk ketidakstabilan.
"Sekretaris jenderal prihatin dengan niat militer untuk mengadakan pemilihan di tengah intensifikasi pemboman udara dan pembakaran rumah warga sipil, bersamaan dengan penangkapan, intimidasi dan pelecehan terhadap pemimpin politik, aktor masyarakat sipil dan jurnalis,” kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Dujarric mengatakan, tanpa syarat yang memungkinkan rakyat Myanmar untuk secara bebas menggunakan hak politik, pemilihan umum yang diusulkan militer Myanmar berisiko memperburuk ketidakstabilan. Guterres pun mengutuk keras semua bentuk kekerasan di Myanmar karena krisis di negara itu memburuk dan memicu implikasi regional yang serius.
"Terus berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Myanmar dan mendukung aspirasi demokrasi mereka untuk masyarakat yang inklusif, damai dan adil serta perlindungan semua komunitas, termasuk Rohingya,” kata Dujarric.
Tentara Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Mereka menangkapnya dan anggota tertinggi partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang telah memenangkan kemenangan telak untuk masa jabatan kedua dalam pemilihan umum November 2020.
Pasukan keamanan menekan penentangan luas terhadap pengambilalihan militer dengan kekuatan mematikan. Tindakan itu membunuh hampir 2.900 warga sipil dan menangkap ribuan orang lagi yang terlibat dalam protes tanpa kekerasan. P
Militer juga kini memberlakukan undang-undang baru tentang pendaftaran partai politik yang diterbitkan pekan lalu. Aturan itu akan mempersulit kelompok oposisi untuk melawan kandidat yang didukung tentara dalam pemilihan umum yang dijadwalkan akhir tahun ini.
Aturan itu menetapkan tingkat minimum untuk partai, termasuk tingkat keanggotaan 100 kali lebih tinggi daripada pemilu 2020. Pengetatan pun dilakukan dengan penambahan persyaratan pendanaan.
Meski proses penyelesaian kekerasan tidak menunjukan titik temu, Guterres menyambut baik resolusi pertama tentang Myanmar yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada 21 Desember. Resolusi ini menuntut segera diakhirinya kekerasan di negara Asia Tenggara itu dan mendesak penguasa militernya untuk membebaskan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang dan memulihkan institusi demokrasi.
Resolusi tersebut menyerukan kepada pihak-pihak yang berseberangan untuk melakukan dialog dan rekonsiliasi. Kesepakatan itu mendesak semua pihak untuk menghormati hak asasi manusia, kebebasan mendasar dan supremasi hukum.
"Sekretaris Jenderal menganggap resolusi itu langkah penting dan menggarisbawahi urgensi untuk memperkuat persatuan internasional,” kata Dujarric.
Juru bicara PBB itu mengatakan, utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer akan berkoordinasi erat dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) atas seruan Dewan Keamanan PBB. "Untuk terlibat secara intensif dengan semua pihak terkait di Myanmar untuk mengakhiri kekerasan dan untuk mendukung kembalinya menuju demokrasi," ujarnya.
“PBB berkomitmen untuk tetap berada di Myanmar dan mengatasi berbagai kerentanan yang timbul dari tindakan militer sejak Februari 2021,” kata Dujarric mendesak akses tanpa hambatan ke semua komunitas yang terkena dampak.
"Sekretaris Jenderal memperbaharui seruannya kepada negara-negara tetangga dan negara-negara anggota lainnya untuk mendesak pimpinan militer menghormati keinginan dan kebutuhan rakyat Myanmar dan mematuhi norma-norma demokrasi,” kata juru bicara PBB itu.