Anggota Densus Terlibat Pembunuhan, Pengamat: Momentum Reformasi Polri
Anggota Densus Bripda HS jadi tersangka pembunuhan ojek daring.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Densus 88, Bripda HS, ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan sopir taksi daring di Depok. Selain itu, tersangka HS, ternyata memiliki rekam jejak pelanggaran dan tindak kriminal yang cukup panjang.
Pengamat hukum dan politik dari UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie menilai, kasus anggota Densus 88 yang membunuh dengan motif ekonomi seharusnya menjadi momentum penting melakukan reformasi. Tidak cuma bagi Densus 88, tapi bagi Polri.
Apalagi, ia menekankan, Densus 88 menjadi satuan elit kontra terorisme. Yang mana, merupakan pasukan utama untuk menjaga keselamatan dan kedaulatan bangsa. Karenanya, akan menjadi sulit jika anggota-anggota Densus justru bermasalah.
Mulai dari memiliki latar belakang ekonomi yang rawan, bahkan menjadikannya berbuat kriminal, menipu, terlibat judi daring dan tindak kriminal lain. Ia menegaskan, reformasi kepolisian merupakan sesuatu yang harus terus disuarakan. "Mengingat kualitas anggota polisi yang bermasalah secara moral, tidak berintegritas, semuanya berpengaruh kepada penegakan hukum," kata Gugun kepada Republika.co.id, Rabu (8/2).
Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga itu menuturkan, jika Polri masih merekrut orang-orang yang banyak masalah jangan harap hukum bisa tegak. Apalagi, pendidikannya rendah dan kematangan psikologisnya kacau.
Sebab, yang terjadi justru bisa sebaliknya, polisi akan meruntuhkan penegakan hukum. Gugun mengingatkan, sebagian besar rekrutmen anggota-anggota kepolisian di Indonesia masih diwarnai tindak jual beli, suap dan penuh pula nepotisme. "Saat lembaga-lembaga lain sedang berbenah pasca reformasi, kepolisian belum beranjak dari orde jahiliyah," ujar Gugun.
Menurut Gugun, reformasi kepolisian di Indonesia bisa meniru negara-negara lain di Asia yang sudah melakukannya. Bahkan, banyak negara-negara di Asia yang tidak sekadar melaksanakan reformasi, tapi juga modernisasi kepolisian di negaranya.
Sebut saja Hongkong, Jepang dan Singapura. Untuk itu, Gugun menambahkan, kasus pembunuhan yang dilakukan anggota Densus 88 ini tidak cuma momentum reformasi di tubuh Densus 88, tapi reformasi secara keseluruhan di lembaga kepolisian, Polri. "Sampai kapan negara akan menghabiskan anggaran untuk membiayai kepolisian yang sudah tidak mendapat kepercayaan publik," kata Gugun.