Akhir Tragis Hidup Syiah Rafidhah yang Gemar Mencaci-maki Sahabat Nabi Muhammad SAW
Islam melarang menghujat sahabat Nabi Muhammad SAW sebagaimana Syiah Rafidhah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ibnu Katsir pernah mengisahkan tentang keberadaan seorang Syiah Rafidhah yang hidupnya berakhir tragis.
Keyakinan Syiah mengagungkan Ali bin Abi Thalib RA secara berlebihan dan menghujat para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Keberadaan mereka yang dikenal Syiah ekstrem ini, lebih dikenal dengan Syiah Rafidhah. Penamaan Rafidhah, berasal dari bahasa Arab rafadha, yang maknanya menolak.
Mereka menolak kepemimpinan selain Ali bin Abi Thalib, dan menghujat sahabat Nabi SAW. Dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menulis sebegai berikut:
إسماعيل بن محمد ابن يزيد بن ربيعة أبو هاشم الحميري الملقب بالسيد، كان من الشعراء المشهورين المبرزين فيه، ولكنه كان رافضيا خبيثا، وشيعيا غثيثا، وكان ممن يشرب الخمر ويقول بالرجعة - أي بالدور - قال يوما لرجل: أقرضني دينارا ولك عندي مائة دينار إذا رجعنا إلى الدنيا. فقال له الرجل: إني أخشى أن تعود كلبا أو خنزيرا فيذهب ديناري وكان قبحه الله يسب الصحابة في شعره. قال الأصمعي: ولولا ذلك ما قدمت عليه أحدا في طبقته، ولا سيما الشيخين وابنيهما. وقد أورد ابن الجوزي شيئا من شعره في ذلك كرهت أن أذكره لبشاعته وشناعته، وقد اسود وجهه عند الموت وأصابه كرب شديد جدا. ولما مات لم يدفنوه لسبه الصحابة رضي الله عنهم
“Ismail bin Muhammad bin Ziyad bin Rabiah, Abu Hasyim al-Humairi yang digelari as-Sayyid. Dia termasuk penyair yang terkemuka, akan tetapi dia seorang Syiah Rafidhah yang keji, dia meminum khamar dan pengagung teori reinkarnasi. Suatu saat dia pernah mengatakan ke seorang pria, “Hutangi aku satu dinar, maka bagimu 100 dinarku jika aku kembali ke dunia.” Lalu sang pria menjawab, “Aku khawatir engkau jadi anjing atau babi sehingga dinarku hilang. Ismail, semoga Allah menghinakannya, mencela sahabat dalam syairnya. Al-Ashmai mengatakan, “Seandainya bukan karena itu, tak akan aku sertakan dalam tokoh satu periode, termasuk dua syekh dan kedua anaknya.” Ibnu al-Jauzi menyebutkan contoh syairnya, Aku benci menyebutkannya di sini karena keparahannya. Ismail wajahnya menghitam ketika meninggal dan hadapi kesusahan akut di akhir hayatnya. Bahkan dia tidak dikuburkan karena sikapnya yang kerap menghujat sahabat.” (lihat al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 10 halaman 186).