PGE Target Tingkatkan Kapasitas Panas Bumi Jadi 1.540 MW pada 2030
PGE berpotensi berkontriusi pada pengurangan emisi karbon 9 juta ton per tahun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero), menargetkan untuk meningkatkan kapasitas terpasang energi panas bumi menjadi 1.540 megawatt (MW) pada 2030. Itu artinya pada 2030, PGE berpotensi untuk memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi karbon sebesar 9 juta ton per tahun.
"PGE menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi dunia," kata Presiden Direktur PGE Ahmad Yuniarto dikutip dari keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Indonesia memiliki potensi besar cadangan energi baru terbarukan, salah satunya yaitu panas bumi. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, mencatat potensi panas bumi di Indonesia mencapai 29.544 MW.
Adapun hingga 2022, kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia mencapai 2.347,63 MW sebagaimana proyeksi Kementerian ESDM. Dari total kapasitas terpasang energi panas bumi sebanyak 2.347,63 MW tersebut, PGE mengelola 13 wilayah kerja panas bumi dengan total kapasitas terpasang sebesar 1.877 MW. Rinciannya, sebanyak 672 MW dikelola langsung dan 1.205 MW melalui operasi bersama (join operation contract).
Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PGE Rachmat Hidayat mengatakan dengan kapasitas terpasang panas bumi sebesar 1.877 MW, PGE dapat menyalurkan listrik untuk sekitar 2.085.000 rumah tangga atau setara 88.752 BOEPD bahan bakar fosil.
Sementara itu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebut pengembangan sektor panas bumi menjadi salah satu strategi unggulan pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai "Nationally Determined Contribution" (NDC) dan transisi energi menuju "Net Zero Emissions" (NZE) pada 2060.
"Panas bumi sebagai salah satu energi baru dan terbarukan, energinya bersih dan stabil kapasitas pasokannya selama puluhan tahun sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai andalan pasokan listrik karena dapat diandalkan," kata Dadan.
Pemerintah, lanjut dia, juga telah melaksanakan sejumlah program untuk mempercepat implementasi panas bumi melalui insentif bea masuk, keringanan pajak saat eksplorasi, mekanisme pembiayaan yang menarik saat eksplorasi hingga program "government drilling" untuk menekan risiko dan "cost project".
Pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) umumnya membutuhkan waktu 7-10 tahun. Namun, pengembangannya dapat dipercepat dengan adanya "government drilling".
Untuk memenuhi RUPTL 2021-2030 di mana pada 2030 pemerintah menargetkan kapasitas terpasang panas bumi sebesar 3,35 gigawatt (GW), kata Dadan, pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Menurut Dadan, keuntungan terbesar dari perpres yang baru saja dikeluarkan tersebut ada pada energi panas bumi, khususnya di Pulau Jawa. Untuk itu, pemerintah berharap banyak dari pelepasan umum saham perdana PGE demi peningkatan kapasitas terpasang energi panas bumi di Tanah Air.
"Yang menjadi nilai tambah adalah ekspansi PGE berupa penambahan kapasitas. Penawaran saham perdana atau IPO ini salah satu upaya untuk memenuhi RUPTL. Kalau tidak ada penambahan kapasitas terpasang maka IPO Pertamina Geothermal Energy juga tidak ada gunanya," ujar Dadan.
Ia mengatakan IPO PGE juga dapat memberi sinyal positif bagi swasta dan investor untuk berinvestasi di sektor panas bumi nasional. "PGE akan menjadi satu-satunya perusahaan panas bumi yang pertama dan terbesar melantai di Bursa Efek Indonesia. Wilayah kerja yang dimiliki PGE itu kelas satu semua dan risikonya juga paling minimal," katanya.