Harga Minyak Turun Tertekan Penguatan Dolar AS
Investor khawatir kenaikan suku bunga mengurangi permintaan minyak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga minyak berjangka melemah pada akhir perdagangan Rabu (15/2/2013), tertekan oleh dolar AS yang menguat. Investor juga mengkhawatirkan kenaikan suku bunga akan memperlambat ekonomi dan memangkas permintaan bahan bakar global.
Minyak mentah berjangka Intermediate West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret tergelincir 47 sen atau 0,6 persen, menjadi menetap di 78,59 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April merosot 20 sen atau 0,2 persen, menjadi ditutup pada 85,38 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Kerugian minyak terbatas karena pasar mendiskon kenaikan besar stok minyak mentah AS akibat penyesuaian data dan karena Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak global yang lebih tinggi.
Dolar AS naik mendekati level tertinggi enam pekan terhadap sekeranjang mata uang di tengah data penjualan ritel AS yang kuat bulan lalu dan data inflasi AS baru-baru ini, menunjukkan Federal Reserve (Fed) akan mempertahankan kebijakan moneter yang ketat.
"Harga minyak mentah berada di bawah tekanan karena dolar menguat menyusul data ekonomi yang mengesankan membuka jalan bagi pengetatan Fed lebih lanjut," kata Edward Moya, analis pasar senior di perusahaan data dan analitik OANDA.
Dolar yang lebih kuat dapat memangkas permintaan minyak. Ini membuat minyak mentah lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Pejabat Federal Reserve mengatakan bank sentral AS perlu mempertahankan kenaikan suku bunga secara bertahap untuk melawan inflasi. Investor khawatir suku bunga yang lebih tinggi dapat memperlambat perekonomian.
Stok minyak mentah AS melonjak 16,3 juta barel pekan lalu menjadi 471,4 juta barel, tertinggi sejak Juni 2021, kata Badan Informasi Energi (EIA) AS. Itu jauh lebih besar dari perkiraan para analis peningkatan 1,2 juta barel dalam jajak pendapat Reuters. Namun para analis mengatakan, penyesuaian pasokan minyak mentah yang luar biasa besar berkontribusi pada penumpukan stok yang terlalu besar.
"Begitu semua orang menyadari penyesuaian menurunkan data EIA, skeptisisme tentang bangunan besar (penyimpanan minyak mentah) mulai berdampak ke pasar," kata John Kilduff, mitra penasihat investasi Again Capital LLC di New York. "Ini sekali saja."
IEA menaikkan perkiraan pertumbuhan permintaan minyak 2023 dan mengatakan mungkin ada defisit pasokan di paruh kedua karena produksi yang terkendali dari OPEC+, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan pemasok minyak lainnya termasuk Rusia.
IEA mengatakan, Cina akan menghasilkan hampir setengah dari pertumbuhan permintaan minyak tahun ini setelah melonggarkan pembatasan Covid-19, dan juga mengatakan sekitar 1 juta barel per hari produksi dari Rusia akan dihentikan pada akhir kuartal pertama, mengutip larangan Eropa atas impor lintas laut dan batas harga Kelompok Tujuh (G7).
Pada Selasa (14/2/2023), OPEC juga menaikkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global dan mengisyaratkan pasar yang lebih ketat pada 2023.