Teladan Surah Luqman dan Sufi Sepanjang Zaman

Penyebutan tanggungjawab pada Allah dan kedua orangtua tentu bukanlah tanpa tujuan.

alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani

Baca Juga


Dikisahkan Fariduddin ath-Thar dalam karyanya Tadzkirat al-Auliya’, suatu hari Syaikh Abu Yazid Thaifur al-Busthomi, salah seorang sufi ternama tengah belajar bersama gurunya. Pelajaran hari itu ialah membaca dan menghayati kandungan Qs. Luqman/31:14, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Kepada-Kulah kamu akan kembali,”

Gurunya membacakan ayat tersebut dengan begitu fasih dan penuh penghayatan sementara Abu Yazid menyimak dengan seksama. Tak tahan, ia pun menangis dibuatnya. Lalu, Abu Yazid mengangkat tangan dan meminta izin pada gurunya, ‘Wahai guru, izinkan aku pulang sebentar menemui ibuku,’ ucap Abu Yazid. Gurunya membolehkan. Abu Yazid pun pulang menemui ibunda. 

Sesampainya di rumah, ia mencium tangan ibunya dan berkata, ‘Duhai Ibu, tadi guruku membaca sebuah ayat yang membuat aku gelisah karenanya. Ayat tentang ketaatan pada Allah dan juga kepadamu,’ ucap Abu Yazid sedih. ‘Ibu, aku tak bisa mengabdi di dua rumah sekaligus,” lanjut Abu Yazid. “Maka, izinkan aku meminta bimbingan darimu. Apakah Ibu memintaku dari Allah agar aku bisa terus merawat dan menemanimu? ataukah Ibu menyerahkanku pada Allah sehingga aku bisa terus bersama-Nya?’ tanya Abu Yazid lemah lembut. Matanya berkaca-kaca seraya menatap Ibunya. Dengan penuh kasih sayang, Ibunya pun menjawab, “Nak, Ibu serahkan dirimu sepenuhnya pada Allah. Allah yang akan setia selamanya menjagamu,” mendengar jawaban itu, Abu Yazid pun mencium tangan ibunya lalu kembali menemui gurunya.

MasyaAllah, demikian kutipan cerita singkat tentang ketaatan Abu Yazid pada ibunya. Sufi masyhur yang yang sezaman dengan dua sufi besar; Syaikh Dzun Nun al-Mishri dan Junayd al-Baghdadi dibuat gelisah sebab Qs. Luqman/31: 14 di atas. Dirinya seolah merasa takut dan belum mampu menyempurnakan bakti dan ketaatannya sekaligus: pada Allah dan pada orangtuanya. Memang, sekian banyak ayat al-Quran menyandingkan/ menyebut secara bersamaan antara kewajiban pada Allah dan pada kedua orangtua. Misal dalam Qs. Al-Isra ayat 23, Qs. an-Nisa'/4: 36) dan Qs. al-An'am/6: 151. Dalam Qs. Al-Isra/ 17: 23 misalnya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

Dari keempat ayat di atas yang menyebut secara jelas; kewajiban secara vertikal pada Allah diikuti tanggung jawab horizontal; berbakti pada kedua orangtuanya. Dalam Qs. Al-Isra/ 23, perintah ini sangat tegas disebutkan bahwa kita diperintah untuk tidak berlaku musyrik (an laa ta’budu illa Iyyah/ tidak menyembah sesuatu pun selain Allah) kemudian disebutkan mengenai tanggung jawab mempergauli kedua orangtua dengan baik (wabil waalidayni ihsana). 

Jika kita cermati secara mendalam, penyebutan tanggungjawab pada Allah diikuti berbuat ihsan pada kedua orangtua tentu bukanlah tanpa tujuan. Allah yang telah menakdirkan manusia terlahir dari rahim seorang ibu. Pun, tidak ada seorang anak yang mampu memilih dari rahim mana ia dilahirkan. Karenanya, tugas panjang nan berat menjadi orangtua ialah amanah langsung yang Allah berikan pada orangtua. Bahkan, tugas reproduksi seorang ibu yang dalam sebuah ayat (Qs. Luqman/31: 12 dan Qs. Al-Ahqaf/46: 15) disebut dengan ‘wahnan ‘alaa wahnin/ kepayahan demi kepayahan’ atau sesuatu yang kurang disukai oleh perempuan (kurhan). Dimaknai dengan sesuatu yang kurang disukai karena mengandung bukanlah proses instan. Perlu kekuatan lahir dan batin untuk melaluinya. Keluhan fisik- psikis selama kehamilan, sakitnya proses melahirkan, kemudian masa penyusuan hingga pengasuhan bukanlah fase yang mudah untuk dilakukan. 

Begitu mulia al-Quran menempatkan posisi perempuan dengan menyebutkan tugas-tugas reproduksi yang diembannya, begitu pula Abu Yazid memuliakan ibunya. Cintanya yang begitu besar dan mendalam pada ibundalah yang menghantarkan dirinya untuk meminta ridha sang Ibu agar berkenan menyerahkan dirinya pada Allah. Abu Yazid memberikan kita teladan bahwa orangtua ialah ‘pintu’—wabil khusus seorang Ibu—pengemban misi kerahiman Tuhan, dialah madrasah dan teladan pertama untuk anak-anaknya. Tak heran, banyak hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa ketaatan pada Ibu melebihi pahala perang sekalipun. Rasulullah pernah melarang salah seorang sahabat untuk ikut berperang lantaran ia masih memiliki seorang Ibu renta yang sangat membutuhkan pertolongannya. Tak terbatas hanya ketaatan, pemenuhan kebutuhan materil orangtua juga disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah/2: 215 yang mengisyaratkan bahwa pemenuhan nafkah diutamakan untuk orangtua, lalu kerabat dekat, anak yatim dan lain-lain. Sehingga, kesempurnaan sedekah seorang hamba yakni ketika ia bersedia dengan tulus memenuhi kebutuhan orangtuanya.

Ketaatan pada orangtua pula disebutkan dalam sebuah hadits sebagai amalan utama yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra persis setelah menunaikan kewajiban (shalat) di awal waktu, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw, "Amal yang manakah yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya?" Rasulullah menjawab, "Melakukan salat pada waktunya." Saya bertanya, "Kemudian amal yang mana lagi?" Rasulullah menjawab, "Berbuat baik kepada kedua ibu bapak." (Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Demikian teladan yang bisa kita hayati dari seorang sufi yang terinspirasi dahsyatnya Qs. Luqman/31: 14 di atas. Semoga kita dimampukan Allah untuk mempraktikkannya; menyayangi Allah dan orangtua setulus, semampu, sekuat jiwa kita. Semoga!

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler