Ditahan KPK, Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak Diduga Terima Rp 200 Miliar
Sempat buron, Ricky ditangkap KPK di Abepura pada Ahad (18/2/2023).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak atas kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang. Dia diduga menerima uang haram mencapai Rp 200 miliar.
"Sejauh ini terkait dugaan suap, gratifikasi dan pencucian uang yang dinikmati RHP sejumlah sekitar Rp 200 miliar," kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (20/2/2023).
Firli mengatakan, pihaknya pun akan terus mendalami kasus tersebut. Dia menyebut, sampai saat ini, penyidik KPK telah meminta keterangan dari 110 orang sebagai saksi untuk mengungkap kasus itu.
Selain itu, sambung Firli, KPK juga telah menyita berbagai aset milik politikus Partai Demokrat tersebut. Mulai dari tanah, apartemen, hingga mobil mewah.
"Tim Penyidik telah melakukan penyitaan berbagai aset bernilai ekonomis, diantaranya berbagai bidang tanah dan bangunan serta apartemen yang berlokasi di Kota Jayapura, Provinisi Papua, Kota Tangerang, Provinsi Banten, dan di Jakarta Pusat, serta beberapa unit mobil mewah dengan berbagai tipe," ungkap Firli.
Kini, KPK menahan Ricky untuk kepentingan penyidikan selama 20 hari pertama, mulai tanggal 20 Februari-11 Maret 2023. Dia bakal mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Gedung Merah Putih.
Kasus ini bermula saat Ricky menjabat sebagai Bupati Mamberamo Tengah pada tahun 2013-2018 dan 2018-2023. Selama dua periode menduduki posisi itu dia diduga menggunakan kewenangannya untuk menentukan sendiri para kontraktor yang nantinya akan mengerjakan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Mamberamo Tengah, Papua.
Ricky juga menentukan syarat khusus agar para kontraktor dapat dimenangkan. Antara lain, yakni dengan adanya penyetoran sejumlah uang kepada dirinya.
Ada tiga pihak swasta yang diduga memberi suap kepada Ricky. Mereka adalah Direktur PT Bina Karya Raya, Simon Pampang (SP), Direktur Bumi Abadi Perkasa, Jusiendra Pribadi Pampang (JPP), dan Direktur PT Solata Sukses Membangun, Marten Toding (MT).
Ricky kemudian memerintahkan pejabat di Dinas Pekerjaan Umum untuk mengondisikan proyek-proyek yang nilai anggarannya besar agar diberikan khusus kepada mereka bertiga. Jusiendra Pribadi Pampang diduga mendapatkan sebanyak 18 paket pekerjaan dengan total nilai Rp 217,7 miliar. Di antaranya proyek pembangunan asrama mahasiswa di Jayapura.
Lalu, Simon Pampang diduga mendapatkan enam paket pekerjaan dengan nilai Rp 179,4 miliar. Sementara itu, Marten Toding diduga mendapatkan tiga paket pekerjaan dengan nilai Rp 9,4 miliar.
Ricky menerima uang suap dari ketiga pihak swasta itu melalui transfer rekening bank dengan menggunakan nama-nama dari beberapa orang kepercayaannya. Selain itu, dia diduga menerima sejumlah uang sebagai gratifikasi dari beberapa pihak yang kemudian juga dilakukan tindak pidana pencucian uang berupa membelanjakan, menyembunyikan maupun menyamarkan asal usul dari harta kekayaan yang berasal dari korupsi.
Atas perbuatannya, Ricky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.