Cegah Stunting, Ibu Hamil yang Nutrisinya tidak Bagus Harus Dideteksi Dini

Penanganan stunting harus terintegrasi dan bersinergi.

Pixabay
Ibu hamil (Ilustrasi). Kekurangan gizi bisa terjadi bukan saja pada saat anak lahir, tetapi sejak masih berada di kandungan.
Rep: Desy Susilawati Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo, Dr dr Lies Dina Liastuti SpJP(K), menjelaskan stunting (tengkes) adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita mulai dari bayi baru lahir sampai dengan maksimal lima tahun. Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi yang sangat kronis atau jangka panjang sehingga akhirnya anak itu menjadi terlalu pendek untuk usianya.

Dokter Lies mengatakan kekurangan gizi bisa terjadi bukan saja pada saat anak lahir, tetapi sejak masih berada di kandungan. Dampak kekurangan gizi ini akan terlihat nantinya pada usia dua tahun.

"Oleh karena itu, kita perlu sekali hati-hati dan mendeteksi secara dini mana ibu-ibu hamil yang makannya tidak bagus sehingga bayi di dalam kandungannya kondisinya tidak bagus," ujar dr Lies dalam Media Briefing Fresenius Kabi "Kontribusi Rumah Sakit Dukung Aksi Integrasi Percepatan Penurunan Prevalensi Tengkes", di Jakarta, Senin (20/2/2023).

Dokter Lies mengatakan karena tumbuh kembang anak tidak bagus, maka tentunya asupan gizi tidak hanya untuk pertumbuhan fisik, tapi juga otak. Oleh karena itu, sebaiknya pikirkan bagaimana supaya otak anak itu juga cukup bagus.

"Ini adalah masa depan bangsa. Penanganannya harus terintegrasi dan sinergi, karena tujuannya besar sekali, yaitu membangun sumber daya manusia (SDM) unggul Indonesia," Mujarnya.

Baca Juga


Menurut dr Lies, stunting sudah cukup lama dikendalikan dan diupayakan dengan baik penanganannya oleh pemerintah, tetapi ternyata hasilnya tidak mudah. Tahun 2019, prevalensi stunting masih 28 persen, bahkan melebihi Malaysia dan Brunei. 

"Meski sudah bertahun-tahun dilakukan, namun pencapaian ini belum mencapai target yang diinginkan," ungkapnya.

Dokter Lies mengungkapkan pengendalian stunting tahun 2018, 2019, 2020, dan 2021 mulai memperlihatkan hasil positif. Lalu, berdasarkan hasil studi Survei Status Gizi (SSGI) 2022, prevalensi tengkes di Indonesia turun sebesar 2,8 persen menjadi 21,6 persen.

"Tapi marilah kita laksanakan terus supaya mencapai hasil yang lebih memuaskan kembali," ujarnya.

Tengkes harus menjadi perhatian karena dampaknya pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan angka prevalensi tengkes menjadi 14 persen dari jumlah balita di tahun 2024.

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak akibat gizi buruk atau infeksi berulang. Anak-anak dapat didefinisikan sebagai tengkes jika rasio tinggi-untuk-usia mereka lebih dari dua standar deviasi di bawah median Standar Pertumbuhan Anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Menurut dr Lies, Kemenkes telah menjalankan upaya yang cukup baik untuk mengatasi stunting. Misalnya dengan memberikan suplemen nutrisi untuk energi lebih baik lagi, menangani bayi-bayi prematur yang jumlahnya banyak, pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) untuk bayi alergi susu sapi, dan lainnya.

"Negara sudah melakukan intervensi yang terintegrasi, tetapi ini bukan hanya tugas Kemenkes, ada banyak hal yang harus dilakukan oleh banyak kementerian dan lembaga lainnya," paparnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler