Masih Bayi Kok Sudah Obesitas? Ini Penjelasan Dokter Tan Shot Yen
Bayi asal Bekasi mengalami obesitas, bobotnya sudah 27 kg di usia 16 bulan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus obesitas bayi 16 bulan asal Bekasi, Jawa Barat menimbulkan banyak tanya mengenai penyebabnya. Mengapa bayi bisa obesitas?
Berdasarkan informasi yang diberikan Pitriah, ibu dari balita obesitas itu, putranya yang kini berbobot 27 kg kerap diberi kental manis. Dengan berat badan tersebut, bayi bernama Muhammad Kenzi Alfaro itu bobotnya setara anak berusia 10-11 tahun.
Menanggapi temuan kasus obesitas pada bayi, ahli gizi masyarakat dr Tan Shot Yen pun menyinggung masalah promosi susu serta peran kader posyandu dan masyarakat tempat. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya evaluasi makan Kenzi.
"Bayi tanpa air susu ibu (ASI) rentan bermasalah dengan berat badan, ada yang jadi obesitas atau bahkan berat badan kurang karena banyak sebab, termasuk ketidakcocokan dengan susu formula," kata dr Tan melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (23/2/2023).
Sang ibu mengaku memiliki masalah pada empedu sehingga tidak bisa menyusui anaknya. Menurut dr Tan, sebetulnya hal itu tidak ada hubungannya.
Tanpa bermaksud "menghakimi" dan mengingat tidak ada data medis yang jelas, dr Tan menyebut sedapat mungkin penanganan masalah kesehatan ibu menyusui bisa dilakukan tanpa mengganggu proses menyusu anaknya, termasuk dalam pilihan obat. Di sisi lain, ia mengatakan pemberian kental manis pada anak usia satu tahun jelas amat keliru.
Menurut dr Tan, kekeliruan itu terjadi karena pemahaman orang tua yang terbatas. Bagi mereka, yang penting memberikan susu dan anaknya pun mau.
"Ini semua imbas dari promosi susu formula dan susu pertumbuhan yang kebablasan, seakan-akan susu adalah asupan terpenting dan terbaik bagi anak," kata Tan.
Lalu, Kenzi juga diketahui belum bisa makan. Dokter Tan menilai itu sebagai kejanggalan karena seharusnya sudah diperkenalkan makanan pendamping ASI (MPASI) sejak usia enam bulan.
Dokter Tan juga mempertanyakan penyebab ini terjadinya kasus obesitas pada Kenzi. Ia menyesalkan kejadian tersebut karena seharusnya komunitas masyarakat menjalankan perannya, terutama posyandu.
"Jika kehidupan bersosialisasi terjadi dengan baik, maka kasus anak ini tidak akan bablas," kata dia.
Siapa saja, termasuk tetangga, bisa mengajak ibu anak tersebut ke posyandu dan kader dapat dengan cepat merujuk ke puskesmas. Jika puskesmas tidak mampu menangani tentu akan dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi untuk pemeriksaan lebih detail.
"Tidak perlu tunggu viral dan geger begini," kata dr Tan.
Mengenai alasan keterbatasan ekonomi, dr Tan menjelaskan bahwa air susu ibu (ASI) justru gratis. MPASI buatan rumah juga jauh lebih murah ketimbang bubur instan kemasan.
Dokter Tan juga mendengar informasi yang belum diketahui kebenarannya mengenai saran dari pihak puskesmas yang malah menganjurkan untuk mengencerkan kental manis. Jika memang terjadi, ia menyebut rekomendasi oknum petugas puskesmas tersebut tentu tidak dapat dibenarkan.
Lebih lanjut, dr Tan menjelaskan anak sudah bisa diberikan makanan padat seperti yang disantap keluarga mulai usia satu tahun. Jika Kenzi masih makan bubur bayi tentu harus dievaluasi kembali tekstur dan jenis makanan yang bisa diterimanya.
Menurut dr Tan, ini menyangkut kemampuan mengunyah. Apalagi, Kenzi lahir dengan berat badan 4,5 kilogram.
"Suspek masalah hormonal perlu jadi pertimbangan," kata dr Tan.