Belajar dari Kasus Dandy-AGH, Gimana Baiknya Remaja Saat Jatuh Cinta?
Dandy telah menjadi tersangka pembunuhan berencana, AGH berstatus saksi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (20 tahun) terhadap CDO (17) belakangan diketahui karena dipicu oleh aduan mengenai kekasihnya bernama AGH. Dandy kini telah ditetapkan sebagai tersangka, sementara AGH berstatus saksi.
Menurut polisi, Dandy melakukan upaya pembunuhan terhadap CDO setelah mendapat informasi dari teman AGH, yakni APA, bahwa korban pernah berbuat hal tak menyenangkan terhadap AGH. Tindakan Dandy yang dianggap bucin (budak cinta), tapi membahayakan nyawa orang lain itu telah memicu keprihatinan masyarakat.
Kasus tersebut dapat menjadi pelajaran bagi banyak orang tua, terutama dalam menghadapi fase remaja anak. Bagaimana baiknya orang tua maupun anak sendiri dalam menyikapi perasaan suka terhadap lawan jenis?
Menurut psikolog Alfa Restu Mardhika, perasaan suka terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia dan pasti terjadi. Andai orang menolaknya, yang dikhawatirkan justru terjadi penyimpangan, seperti malah menyukai sesama jenis.
"Biasanya kalau orang tua yang terlalu tidak boleh, akhirnya kejadian nyaman dengan sesama jenis," kata Alfa yang juga co-founder Inshight Psikologi di daerah Jakarta Timur, Ahad (26/2/2023).
Di sinilah peran penting lingkungan dan orang tua untuk menjadi teman atau partner diskusi bagi anak. Gali sejauh mana perasaan suka si anak.
Dalam kasus AGH (15 tahun) dan Dandy yang usianya terpaut lima tahun, Alfa menjelaskan di luar negeri, batas akhir usia remaja adalah 18 tahun. Sementara, di Indonesia, ada definisi sendiri, yaitu 23-24 tahun.
Tetapi, menurut Alfa, di usia 20 tanunan seperti Dandy, seharusnya sudah di tahap punya keterampilan masalah lebih baik. Anak harus sudah bisa berpikir kompleks, tidak bertindak impulsif hanya karena hal sepele.
Sementara di fase remaja awal seperti AGH, umumnya memang sedang di fase tertarik dengan lawan jenis. Oleh karena itu, orang tua harus punya waktu dan menjadi teman berbagi tentang perasaan anak, entah perasaan kepada lawan jenis ataupun konflik antarteman sebayanya.
Anak akan nyaman bercerita karena merasa ada yang mendengar dan mendampingi. Orang tua punya pengalaman jauh lebih banyak sehingga layak jadi mitra diskusi.
Jika anak tidak nyaman cerita ke orang tua, bisa jadi mereka bercerita ke teman sebaya. Risikonya, bukan diskusi yang baik yang didapat, tetapi justru dipanas-panasi.
Itulah yang tampaknya terjadi pada peristiwa seperti yang dilakukan Dandy, menurut Alfa. Lebih lanjut, Alfa menyebut fitrah menyukai lawan jenis itu tidak masalah. Hanya saja, perasaan suka itu juga harus dijaga batasannya.
Ada baiknya, anak-anak memiliki hobi atau kegiatan positif sehingga perasaan sukanya terhadap lawan jenis bisa diimbangi dengan aktivitas bermanfaat. Beri anak ruang menggali bakat, minat, dan hobi positifnya agar fokus mereka tidak hanya kepada cinta sesama jenis.
Ketika punya banyak fokus, ketika ada masalah cinta atau asmara, misalnya, anak tidak menjadikan itu sebagai masalah besar. Jadi, penting bagi orang tua untuk menggali minat dan bakat anaknya.
"Tapi balik lagi, apakah anak punya teman diskusi atau jangan-jangan orang tua juga tidak punya waktu," kata Alfa yang juga praktisi Play Therapy dan Art Therapy dan psikolog di Iradat Konsultan.