Cacat Logika Kasus Rasuah Heli AW-101: Penyuap Divonis Penjara, Penerima Suap tak Dipidana
Kasus korupsi pengadaan Heli AW-101 TNI AU hanya menjerat pihak swasta.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Flori Sidebang
Vonis kasus pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara disorot IM57+ Institute. Kasus tersebut terbilang janggal karena hanya pemberi suap yang diganjar hukuman pidana.
IM57+ Institute sulit memercayai kasus heli AW-101 hanya terbukti dilakukan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway. Padahal kalau Irfan berstatus pemberi suap, maka semestinya ada penerima suap yang dihukum.
"Tidak mungkin korupsi dilakukan secara individu dan hanya oleh swasta. Dan lebih tidak memenuhi logika hukum lagi kalau suatu perkara tindak pidana korupsi, ada pemberi namun tidak ada penerima," kata Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha kepada Republika, Senin (27/2/2023).
Merujuk kasus ini, IM57+ Institute memandang seharusnya pemberi suap tidak bisa dihukum. Sebab, terjadi cacat formil penerapan delik pasal 5 UU Tipikor lantaran tak ada penerima suap.
"Unsur memberikan sesuatu kepada Penyelenggara Negara tidak terpenuhi karena tidak ada penerimanya," ujar eks pegawai KPK tersebut.
Oleh karena itu, IM57+ Institute mendorong pengembangan lebih lanjut dari sisi Penyelenggara Negara di kasus heli AW-101. Terlebih hakim telah menyebutkan bahwa terdapat tindakan yang dilakukan bersama-sama, termasuk dengan mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Agus Supriatna.
"Tidak boleh ada yang kebal hukum," ujar Praswad.
Sepanjang sidang kasus heli AW-101, Agus Supriatna memang tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Agus punya banyak alasan untuk menjadi dalih ketidakhadirannya di persidangan.
"Sikap tidak kooperatif dari mantan KSAU yang tidak bersedia hadir sebagai saksi dalam proses penegakan hukum menjadi preseden buruk ke depan," ucap Praswad.
Khusus untuk Agus, KPK mengaku sebenarnya sudah mengirim panggilan kepada tim kuasa hukumnya tapi ditolak. Sedangkan saksi Kepala Dinas Aeronautika TNI AU (Kadis Aero AU) Ignatius Tryandono sudah meninggal.
"Terkait saksi Agus Supriatna sudah berkomunikasi dengan Diskum (Dinas Hukum) TNI AU dan belum dapat informasi dari diskum TNI AU terkait posisi yang bersangkutan, kemudian Supriyanto Basuki sama dengan Agus Supriatna (tidak ada kabar)," kata jaksa Arief Soeharyanto dalam persidangan pada Desember 2022 lalu.
Padahal dalam pembacaan pertimbangan vonis untuk John Irfan Kenway, mantan KSAU Agus Supriatna disebut pernah melanggar instruksi eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo agar membatalkan pembelian helikopter AW-101. Agus disebut memaksakan pembelian produk agusta westland itu.
"Bahwa setelah dilakukannya penandatanganan kontrak Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 antara TNI AU dengan PT Diratama Jaya Mandiri, pada tanggal 14 September 2016 Panglima TNI mengirimkan surat kepada Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dengan Nomor: B/4091/IX/2016 perihal pembatalan kontrak terkait pengadaan helikopter angkut AW-101 yang menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan pengadaan helikopter angkut AW-101 yang dilakukan Mabes TNI AU melalui Kontrak Nomor: KJB/300/1192/DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Pengadaan serta arahan Presiden RI sehingga memerintahkan agar membatalkan kontrak tersebut," kata hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Agus Supriatna disebut hakim mengabaikan perintah Gatot Nurmantyo yang saat itu menjabat Panglima TNI. Agus justru menerbitkan disposisi kepada bawahannya agar melanjutkan proyek itu.
"Namun atas surat tersebut, Agus Supriatna tidak bersedia membatalkan kontrak dan memberikan disposisi kepada Wakasau, Asrena Kasau, Aslog Kasau, dan Kadisadaau dengan tulisan 'ini system APBN 2016 yang sudah harus dieksekusi dan sudah turun DIPA TNI AU, utk siapkan dokumen-dokumen dalam kesiapan menjawab masalah tersebut'," ujar hakim.
Kepada Republika, Agus Supriatna pernah memberikan tanggapan terkait namanya yang disebutkan pada dakwaan John Irfan Kenway. Menurut Agus, tuduhan terhadap dirinya ini menunjukan bahwa jaksa KPK tidak profesional.
Dalam surat dakwaan John Irfan Kenway yang dibacakan jaksa KPK pada 12 Oktober 2022, nama Agus Supriatna disebut. Dalam dakwaan tersebut, terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh mengaku memberi uang sebesar Rp 17,7 miliar kepada Agus Supriatna.
"Nanti tanya jaksa yang asal bicara tanpa bukti, data yang jelas, terlihat asal-asalan. Sangat tidak profesional," kata Agus saat dikonfirmasi Republika, Kamis (13/10/2022).
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, penasihat hukum Agus, Pahrozi membantah dakwaan tersebut. Dia mengatakan, bahwa kliennya tidak pernah menerima uang dari Irfan Kurnia Saleh seperti yang disebutkan dalam dakwaan jaksa.
"Saya selaku penasihat hukum menolak keras dakwaan ini, karena klien saya tidak pernah menerima uang yang dituduhkan itu, tidak pernah melihat uang yang dituduhkan itu, tidak pernah ada janji dari swasta atas uang yang dituduhkan itu," kata Pahrozi kepada wartawan, Kamis.
Sebelumnya, Jaksa KPK dalam kasus ini, Arif Suhermanto meyakini kasus ini bisa diproses hukum tanpa melibatkan penyelenggara negara. Asalkan terdakwanya terbukti menerima dana dari negara, sehingga KPK tak kunjung menyeret terdakwa dari penyelenggara negara.
"Unsur pasal 2 (UU Tipikor) itu kan setiap orang, tidak harus penyelenggara negara. Jadi siapa pun yang menerima dana dari negara baik orang biasa, PNS, penyelenggara negara itu jadi subjek hukum," ucap Arif.
Arif juga menyebut Majelis Hakim sebenarnya sudah mengakui adanya dana komando yang mengalir ke prajurit dan purnawirawan TNI. Sehingga ia mensinyalkan peluang mengembangkan lagi kasus ini.
"Itu tadi terkait dana komando 17 miliar ternyata ada dan juga unsur 55 (KUHP) sama dengan tuntutan JPU. Unsur 55 disebutkan siapa yang turut serta melakukan dalam perkara ini, yang saling bekerjasama," ujar Arif.
Walau demikian, Arif berkelit soal nama-nama prajurit dan purnawirawan TNI AU serta pegawai PT DJM yang tak kunjung bersaksi di persidangan. Mereka adalah mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna, Asisten Perencanaan dan Anggaran KSAU (2015-Februari 2017) Marsda (Purn) Supriyanto Basuki, Kepala pemegang Kas Mabes TNI AU (2015-Februari 2017) Wisnu Wicaksono, dan Kaur Yar Kepala Pemegang Kas Mabes TNI AU Joko Sulistiyanto, mantan Sekretaris Dinas Pengadaan Angkatan Udara Fransiskus Teguh Santosa, dan mantan Kepala Dinas Pengadaan AU Heribertus Hendi Haryoko. Lalu ada saksi dari kalangan sipil yang juga tidak hadir atas nama Angga Munggaran selaku Staf Bagian Keuangan PT Diratama Jaya Mandiri.
"Kita sudah panggil yang bersangkutan (Agus Supriatna) berkali-kali bahkan lewat penasihat hukumnya tapi belum menemukan yang bersangkutan," ucap Arif.
Diketahui, Jhon Irfan Kenway divonis hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar dalam perkara ini. Irfan juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 17,22 miliar.
Vonis terhadap Jhon Irfan Kenway lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yaitu pidana penjara selama 15 tahun. Vonis uang pengganti juga jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yaitu Rp 177 miliar.
John Irfan Kenway divonis melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut kuasa hukum terdakwa, Robinson, vonis yang dibacakan hakim hanya mengikuti isi surat dakwaan dari Jaksa KPK. Dalam pantauan Republika, memang ada kesamaan antara bagian vonis dan dakwaan yang dibacakan majelis hakim.
"Seperti yang kita dengar dalam pertimbangan majelis fakta hukum yang dituangkan dalam putusan itu semua copy paste dari dakwaan," kata Robinson usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/2/2023).
Robinson mensinyalir pertimbangan vonis hakim soal adanya dana komando di kasus ini patut dipertanyakan. Sebab hal tersebut justru tak terbukti sepanjang persidangan.
"Itu copy paste dari dakwaan, dimana itu tidak terkonfirmasi dalam persidangan misal Wisnu (Kas Mabes TNIAU 2015-Februari 2017 Wisnu Wicaksono) dengan Joko tidak pernah dihadirkan di persidangan yang katanya mau dikonfrontir dengan penyidik. Kami juga nggak sempat nanya lagi apa betul uang itu sempet dikembalikan, diterima diserahterimakan," ujar Robinson.
Robinson menegaskan ada haknya sebagai kuasa hukum terdakwa untuk menanyakan hal itu kepada para saksi di persidangan. "Sampai sekarang kami belum bertanya loh, itu tidak terkonfirmasi dan itu dijadikan fakta persidangan sehingga majelis nyatakan sudah diterima. Padahal faktanya tidak terkonfirmasi dalam persidangan," lanjut Robinson.