Kasus Kekerasan di Kota Bandung Tertinggi Ketiga di Jawa Barat
Tercatat 37 laporan tindak kekerasan yang terjadi di Kota Bandung dalam dua bulan
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, memasuki trimester awal 2023, Kota Bandung menjadi wilayah dengan jumlah kasus kekerasan tertinggi ketiga di Jawa Barat. Tercatat sebanyak 37 laporan tindak kekerasan yang terjadi di Kota Bandung dalam waktu kurang lebih dua bulan, lebih rendah dari Kota Depok, 179 laporan, dan Bogor dengan 42 laporan. Sedangkan jika dilihat catatan pada 2022 lalu, Kota Bandung menjadi wilayah dengan kasus kekerasan tertinggi di Jawa Barat, 423 kasus.
Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan, demi menekan tingginya angka kasus kekerasan, Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) menggelar rapat pembinaan pusat pelayanan dan pemberdayaan perempuan sebagai upaya pencegahan kekerasan pada anak dan perempuan. Anak dan perempuan, dikatahui memang menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak kekerasan, baik verbal, fisik, psikologis, bahkan seksual.
Merujuk data Simfoni PPA, dari total 433 kasus kekerasan yang terjadi di Jawa Barat selama 2023, 399 kasus diantaranya dialami oleh perempuan. Jika dilihat dari rentang usia, 6-12 tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak mendapatkan tindak kekerasan, 139 kasus. Disusul kelompok usia 13-17 tahun dengan 129 kasus.
Yana berharap, melalui pengoptimalan pembinaan pusat pelayanan perempuan dan anak ini, akan lebih banyak masyarakat yang berani untuk melapor jika menemui, melihat atau mengalami tindakan kekerasan. Menurutnya, untuk mengentaskan kasus kekerasan, perlu adanya kesadaran, kepedulian dan keberanian, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan.
“Semoga para tim dapat lebih aktif untuk mengetahui dan mencium kasus-kasus KDRT yang mungkin terjadi, begitu juga memasifkan sosialisasi agar masyarakat lebih berani melapor jika melihat atau mengalami kekerasan baik secara verbal, fisik maupun seksual, agar ada tindak lanjut baik dalam bentuk pendampingan psikologis, maupun pemberian sanksi bagi pelaku oleh kepolisian,” papar Yana usai memberikan arahan pada pembukaan rapat Pembinaan Puspel-PP (Pusat Pelayanan dan Permberdayaan Perempuan) yang digelar di Hotel Grandia, Cihampelas, Kota Bandung, Senin (27/2/2023).
Lebih lanjut, Kepala DP3A Uum Sumiati menjelaskan, saat ini Pemerintah Kota Bandung tengah memasifkan kerjasama dengan Forum Komunikasi Anak Kota Bandung (FOKAB) melalui sosialisasi dan edukasi ke sekolah-sekolah agar anak-anak dapat berperan sebagai pelopor pencegahan tindak kekerasan baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan sekitarnya. Anak juga diajak untuk menjadi pelapor yang berani melapor jika menemukan atau mengalami tindak kekerasan baik verbal, fisik, psikis, maupun seksual, sambung Uum.
“Karena berdasarkan laporan selama ini, kebanyakan kasus KDRT bukan hanya dilakukan sekali dua kali tapi sudah bertahun-tahun, 3-5 tahun rata-rata, artinya kalau si korban tetap diam maka pelaku akan terus leluasa melakukan kekerasan dan memang mayoritas pelaku adalah orang-orang terdekat,” ungkap Uum.
Uum mengungkapkan, pada 2022 lalu, dari total populasi anak di Kota Bandung yang mencapai 710 ribu orang, 0,17 persennya (1.207 orang), telah mengalami tindak kekerasan yang beragam, mulai dari fisik, verbal, seksual, penelantaran dan lainnya. Data ini dilanjutkan dengan temuan Simfoni PPA pada 2023 bahwa siswa sekolah dasar (SD) di Jawa Barat merupakan yang paling banyak menjadi korban kekerasan, dengan 129 laporan. Disusul siswa SLTP/SMP dengan 101 laporan, dan SMA dengan 96 kasus.