Pengamat: Sekolah Justru Membangun Sistem Kekerasan

Pengamat sebut saat Kemendikbud berupaya menghapus justru sekolah membangun kekerasan

Republika/Putra M. Akbar
mantan Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Retno sebut saat Kemendikbud berupaya menghapus justru sekolah membangun kekerasan
Rep: Rizky Suryarandika Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Beberapa waktu lalu, sebuah video yang berisi seorang siswa dihukum dengan ditampar menggunakan buku oleh gurunya viral di media sosial. Tak hanya oleh guru tersebut, siswa yang dihukum itu juga ditampar oleh para siswa lainnya.

Baca Juga


Setelah ditelusuri, peristiwa itu terjadi di SMK Muhammadiyah Banyuresmi, Kabupaten Garut, pada akhir Februari 2023. Anak yang dihukum itu diketahui telah berulang kali melakukan pelanggaran, yaitu merokok di dalam kelas.

Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, menyayangkan masih ada aksi kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya. Bukan hanya melakukan kekerasan, guru itu bahkan mengajarkan kekerasan kepada siswa lainnya, dengan menyuruh siswa lain untuk menampar anak yang dihukum. 

"Ini guru juga menyuruh melakukan kekerasan. Jadi dia menampar dengan buku, kemudian menyuruh anak lain untuk menghukum (menampar) anak ini," kata Retno saat dihubungi Republika, Ahad (5/3/2023).

Retno mengaku telah mendapat informasi bahwa hukuman berupa tamparan itu merupakan hasil kesepakatan dari guru dan para siswa tersebut. Pasalnya, siswa yang dihukum dalam video itu sudah berulang kali melakukan pelanggaran yang sama. 

Ketika pertama kali diketahui melakukan pelanggaran, siswa itu diberi sanksi berupa diperingatkan. Kedua kali melakukan pelanggaran, siswa itu diberikan surat teguran. Terakhir, siswa itu dihukum dengan cara ditampar oleh guru dan siswa lainnya, yang merupakan hasil kesepakatan bersama.

Menurut Retno, aksi itu sudah masuk sebagai sebuah pelanggaran. Ia mengatakan, dalam Pasal 76c Undang-Undang Perlindungan Anak, yang dimaksud kekerasan itu tidak hanya melakukan, tapi juga menyuruh orang lain melakukan atau membiarkannya.

"Jadi kita bisa dihukum atas kekerasan juga ketika kita membiarkan atau menyuruh orang lain melakukan," kata Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini. 

Retno menambahkan, seorang guru membuat aturan yang menyuruh siswa lain untuk menampar juga merupakan sebuah pelanggaran. Ironisnya, ketika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sedang berupaya menghapus tiga dosa besar, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi, sekolah justru membangun sistem kekerasan. 

"Mestinya guru dihukum, tapi kan penyelesaiannya damai. Aneh ini," ujar mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu.

Menurut Retno, perilaku anak merokok di dalam kelas pasti memiliki latar belakang. Ia menduga perilaku anak itu dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk di sekolahnya.

"Ketika anak sampai berani melakukan itu, mungkin dia melihat ada yang melakukan juga di sekolah itu, terutama dari orang dewasa. Di sekolah itu guru merokok atau tidak? Kalau gurunya merokok, anak pasti meniru," kata dia.

Ia menjelaskan, penegakan aturan kepada siswa harus dilakukan dengan konsisten. Artinya, penegakan aturan harus disertai contoh. Pasalnya, perilaku anak itu mencontoh lingkungan.

"Kalau mau mencegah, harus ada aturan tegas yang berlaku untuk semua. Bukan hanya siswa," ujar Retno. 

Ia mencontohkan, ketika belum ada larangan merokok di lingkunan sekolah saat dirinya masih menjadi guru, banyak siswa yang kedapatam merokok. Namun ketika ada larangan merokok di lingkungan sekolah, terutama di DKI Jakarta, masalah itu bisa diatasi. Sebab, setelah itu, para guru tidak ada lagi yang berani merokok di lingkungan sekolah.

"Kalau ada yang ketahuan merokok, ada tunjangan daerah yang dipotong. Jadi ada sistem yang baik. Ketika regulasi mendukung, orang dewasa punya kesadaran, masalah ini dapat dicegah," kata Retno. 

Hukuman Mendidik 

Apabila semua proses itu telah dilakukan, tapi masih ada siswa yang merokok di lingkungan sekolah, hukuman tetap harus diberikan. Namun, hukuman untuk siswa bukan berarti harus menggunakan cara kekerasan.

"Anak masih melanggar ya dihukum dengan cara mendidik. Bukan dengan kekerasan. Kalau kekerasan itu dilakukan, justru jadi melanggar aturan," kata Retno. 

Ia menjelaskan, hukuman tanpa kekerasan bisa dilakukan. Misalnya, siswa yang melanggar aturan dihukum dengan cara diskors. Ketika diskors, orang tua wajib mendidik anaknya di rumah. Apabila melakukan lagi, sekolah bisa menambah waktu skors yang diberikan. 

"Ketika melakukan lagi, artinya tidak ada efek jera. Orang tua juga tak bisa mengedukasi. Bisa saja dilakukan sanksi dikembalikan ke orang tua. Jadi anak tak perlu dipukul," ujar Retno.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler