Buntut Kasus Rafael dan Eko Darmanto, 69 Pegawai Kemenkeu Masuk Daftar Harta tak Wajar
Irjen Kemenkeu akan melakukan pemanggilan 69 pegawai itu dalam dua pekan ini.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Iit Septyaningsih, Flori Sidebang, Dadang Kurnia, Fauziah Mursid
Terungkapnya kekayaan yang diduga tak wajar dari dua mantan pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yakni Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto membuat Inspektorat Jenderal Kemenkeu bergerak melacak kekayaan pejabat dan pegawainya yang lain. Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Awan Nurmawan Nuh mengungkapkan, pihaknya sudah mulai memanggil pegawai yang memiliki harta tidak wajar.
"Mulai hari senin kita lakukan pemanggilan untuk klarifikasi dan pemeriksaan. kami rencanakan selesai dalam 2 minggu ini," tegas Awan saat dihubungi, Selasa (7/3/2023).
Awan mengatakan, menemukan harta tidak wajar pada 69 pegawai Kemenkeu sepanjang 2020 dan 2021. Berdasarkan hasil analisis, pihaknya melakukan cek formal juga material terkait anomali harta kekayaan pegawai internal.
"Untuk LHK 2019 artinya yang dilaporkan 2020 itu ada 33 pegawai tidak clear. Untuk LHK 2020 atau pelaporan 2021 ada 36 pegawai tidak clear. Total ada 69 pegawai tidak clear. Selanjutnya akan kami panggil, klarifikasi, untuk dilakukan pemeriksaan," ujar Awan dalam konferensi pers, Rabu (1/3/2023).
Kemenkeu khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) memang tengah menjadi sorotan. Hal itu karena kasus kepemilikan harta miliaran dan pamer kemewahan yang dilakukan mantan pejabat DJP Rafael Alun Trisambodo (RAT) dan pejabat DJBC Yogyakarta Eko Darmanto (ED).
Berbagai kasus itu membuat banyak masyarakat mengaku kehilangan kepercayaan terhadap institusi tersebut. Sehingga, Kemenkeu berupaya agar kasus serupa tidak akan terjadi lagi.
Awan menyatakan, kementerian memiliki sistem pencegahan dan penindakan. "Ada tata kelolanya, kami menyebutnya integrity frame work atau kerangka kerja integritas," ujarnya kepada Republika.
Sistem itu diimplementasikan dalam upaya menegakan integritas pegawai Kemenkeu. Di antaranya layanan pengaduan Wise dan analisis harta kekayaan pegawai, sebagai instrumen deteksi dini.
"Kami juga mempunyai sistem pertahanan tiga lini atau three lines of defense. Artinya pengawasan terhadap integritas pegawai dilakukan bukan hanya oleh itjen, namun juga unit kepatuhan internal di masing masing unit eselon satu, juga pengawasan oleh atasan langsung atau waskat," jelas Awan.
Ia memastikan, sistem tersebut berjalan. Hanya saja, Itjen Kemenkeu juga akan terus melakukan penyempurnaan.
"Misalnya capturing informasi dari media atau media sosial sebagai bentuk pengawasan masyarakat terhadap pegawai kemenkeu. pengawasan oleh masyarakat sangat penting ke depannya," tegas dia.
Sistem itu diimplementasikan dalam upaya menegakan integritas pegawai Kemenkeu. Di antaranya layanan pengaduan Wise dan analisis harta kekayaan pegawai, sebagai instrumen deteksi dini.
Khusus untuk Rafael, menurut Awan, audit investigasi sudah selesai. Hasilnya, terbukti ada pelanggaran disiplin berat.
"Sekarang dalam proses penjatuhan hukuman disiplin. Yang bersangkutan direkomendasikan dipecat," tegasnya kepada Republika, Selasa (7/3/2023).
Kemudian menanggapi pemblokiran puluhan rekening RAT yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Awan mengatakan, ranah Itjen Kemenkeu pada administrasi guna penegakan disiplin pegawai.
"Kalau tindak pidana adalah kewenangan dari aparat penegak hukum seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," jelas dia.
Sebelumnya, Tim Itjen bersama KPK sedang melakukan pendalaman lebih lanjut atas harta yang dilaporkan di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) RAT. Termasuk dugaan harta yang belum dilaporkan, kecocokan profil dengan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak yang disampaikan, serta pengakuan atas harta lainnya berupa properti kendaraan dan tas mewah.
Awan menyebutkan, guna memeriksa RAT, Itjen membentuk tiga tim. Pertama, tim eksaminasi. "Tim ini melakukan pemeriksaan lapangan untuk mengeksaminasi kekayaan yang bersangkutan," jelas dia.
Kemudian kedua yaitu tim penelusuran kekayaan yang belum dilaporkan, serta tim ketiga merupakan tim investigasi mendalami dugaan fraud atau kejahatan. Awan menyebutkan, pembentukan tim dilakukan demi mempercepat proses dan agar lebih fokus kepada isu. Pelaksanaan pemeriksaan RAT selalu berkoordinasi dengan KPK, khususnya mengenai harta yang belum dilaporkan.
Rafael Alun Trisambodo bungkam saat ditanya mengenai surat pengunduran diri sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dia ajukan ditolak Kemenkeu. Dia memilih menutup mulutnya rapat-rapat.
Pertanyaan itu dilontarkan awak media saat Rafael selesai diperiksa mengenai laporan kekayaan miliknya yang tercatat mencapai Rp 56 miliar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (1/3/2023). Dia hanya menyebut, telah memberikan klarifikasi dan informasi yang dibutuhkan KPK.
"Saya telah memenuhi kewajiban saya untuk memberikan klarifikasi atas undangan yang diberikan oleh KPK kepada saya," kata Rafael.
Namun, ayah dari Mario Dandy Satrio ini enggan membeberkan hasil pemeriksaannya yang berlangsung selama kurang lebih 8,5 jam. Dia meminta agar hal itu ditanyakan langsung kepada KPK.
"Bisa ditanyakan kepada KPK," ucap Rafael.
Adapun, Kepala nonaktif Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto memenuhi panggilan KPK, Selasa (7/3/2023). Eko datang dengan ditemani sang istri. Namun, sebelum memasuki lobi Gedung KPK, dia enggan memberi komentar kepada awak media.
"Dijadwalkan akan dimintai klarifikasi tim LHKPN Kedeputian Pencegahan KPK sesuai undangan pada pukul 09.00 WIB," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri.
Seusai menjalani pemeriksaan, Eko mengklaim tidak pernah berniat memamerkan hartanya di media sosial. Ia berdalih, data pribadinya dicuri dan kemudian beredar luas.
"Saya tidak pernah berniat, bermaksud untuk pamer harta seperti yang disampaikan secara viral. Kenapa hal itu terjadi? Karena data saya yang simpan secara private dicuri, kemudian di-framing dan beredar lah seperti yang rekan-rekan sekalian ketahui," kata Eko kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (7/3/2023).
Pakar kebijakan publik Universitas Aurlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo menilai, kasus Rafael Alun Trisambodo dengan harta kekayaan tak wajar ibarat fenomena gunung es. Artinya, kata dia, kepemilikan harta dengan nilai tak wajar di kalangan pejabat negara merupakan hal yang umum di Indonesia, namun mereka mampu menutupinya dengan melakukan berbagai rekayasa.
"Kalau kita lihat kasus ini, fakta yang muncul adalah bahwa aset-asetnya itu tidak atas namanya sendiri, tetapi atas nama orang lain atau keluarganya. Artinya, ini merupakan satu bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN," kata Gitadi, Senin (6/3/2023).
Gitadi melanjutkan, mencuatnya kasus Rafael juga berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya kementerian keuangan dan jajarannya. Bahkan ia menilai kadus tersebut akan memengaruhi pendapatan pajak negara.
"Logikanya, ketika public distrust meningkat kemudian terjadi penurunan keikhlasan dan kemauan untuk membayar pajak, tentu saja akan berpengaruh," ujar Gitadi.
Secara teori, lanjut Gitadi, pengaruh public distrust terhadap pendapatan pajak negara tidak akan terjadi secara berkepanjangan. Kendati demikian, Gitadi mengingatkan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya maksimal guna memperbaiki tingkat kepercayaan publik terhadap instansinya.
"Jajaran pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya maksimal untuk menambal dampak negatif terhadap masalah di institusi tersebut. itu bisa menjadi berkepanjangan jika tidak ada upaya konkret dari negara," kata Gitadi.
Gitadi pun berpendapat, munculnya kasus Rafael merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi dan redesain kebijakan, khususnya terkait LHKPN. Tujuannya agar tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain atau penyamaran aset.
Dalam hal ini, para stakeholders harus juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kejaksaan untuk menelusuri aset dan kekayaan terduga. Selain itu, kata dia, momentum ini juga sangat tepat untuk melakukan pemerataan keadilan bagi profesi lain sesuai dengan kontribusinya.
"Jadi, menurut saya ini momentum penting untuk melakukan redesain dan reformasi, termasuk memeratakan keadilan bagi profesi lain yang juga memiliki kontribusi masing-masing, terutama di bidang pendidikan yang paling kentara kesenjangannya," kata Gitadi.
Adapun, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mendorong segera disahkannya Rancangan Undang-undang Perampasan Aset usai mencuatnya kasus Rafael. Keberadaan regulasi ini dinilai memudahkan untuk mencari pembuktian terhadap perolehan harta tak wajar penyelenggara negara.
Zaenur mengatakan, jika RUU Perampasan Aset hasil kejahatan disahkan maka Illicit Enrichment (peningkataan kekayaan secara tidak sah) dan juga penambahan kekayaan secara tidak wajar dan harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu harus dibuktikan oleh penyelenggara negara.
"Penyelenggara harus membuktikan harta tersebut berasal dari perolehan yang sah. Kalau gagal maka kemudian harta itu akan disita oleh negara," ujar Zaenur dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (5/3/2023).
Zaenur mengatakan, regulasi ini dapat mengatasi kesulitan penegak hukum saat ini untuk mencari bukti perolehan harta tak wajar penyelenggara negara, seperti Rafael. Saat ini, penegak hukum harus dapat menemukan alat bukti untuk menjerat penyelenggara negara yang hartanya tak wajar, baik melakukan korupsi maupun menerima suap.
"Kalau ada penyelenggara negara hartanya jumbo, rekeningnya gendut yaitu bukan suatu pelanggaran hukum kecuali aparat penegak hukum punya alat bukti yang bisa menunjukkan bahwa penyelenggaraan penyelenggara negara tersebut melakukan korupsi atau pencucian uang," ujarnya.
Sebab, saat ini penambahan harta tak wajar bukan merupakan tindak pidana. Sedangkan, dengan RUU Perampasan Aset beban pembuktian harta kekayaan dibebankan oleh penyelenggara negara.
Karena itu, RUU Perampasan Aset dibutuhkan untuk menjerat penyelenggara negara yang hartanya tidak jelas asal-usulnya.
"Jadi tidak harus mencari alat bukti apa yang menunjukkan bahwa seorang penyelenggara negara itu menerima suap, tidak. Cukup memberi kesempatan kepada penyelenggara negara untuk membuktikan bahwa harta tersebut berasal dari perolehan yang sah, gagal membuktikan disita untuk negara," ujar Zaenur.