IESR: Kebijakan Insentif Kendaraan Listrik Dapat Tumbuhkan Industri
IESR menilai perlu juga mengalokasikan insentif untuk konversi motor listrik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan adanya kebijakan pemberian insentif kendaraan listrik dapat menumbuhkan industri dalam negeri. Sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih berkelanjutan dan mengurangi laju permintaan BBM.
"Pemberian insentif ini merupakan langkah awal yang baik untuk meningkatkan permintaan kendaraan listrik. Dengan adanya persyaratan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) 40 persen, dapat mendorong investasi di sisi manufaktur dan rantai pasok komponen kendaraan listrik," ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (8/3/2023).
Selain itu, melalui kebijakan itu juga diharapkan dapat tercapai skala keekonomian produksi kendaraan listrik dan mendorong kompetisi yang bisa berdampak pada penurunan harga kendaraan listrik sehingga mendongkrak adopsi kendaraan listrik lebih banyak lagi.
Fabby juga mengatakan adanya insentif konversi ke motor listrik diharapkan dapat membangun kapasitas teknisi dan bengkel konversi serta menarik minat pelaku usaha untuk mengusahakan proses konversi dengan skala yang lebih besar.
"Temuan IESR, terdapat 6 juta unit motor konvensional per tahun dapat dikonversi ke motor listrik pada 2030. Untuk itu, diperlukan ratusan bengkel konversi tersertifikasi, teknisi terampil untuk mengerjakan ini. Dukungan rantai pasok baterai, motor listrik, dan komponen lainnya sangat perlu sehingga biaya konversi semakin terjangkau oleh masyarakat," katanya.
Selain persyaratan TKDN bagi produsen kendaraan listrik, IESR menyarankan agar pemerintah dapat menambahkan syarat performa kendaraan listrik dalam pemberian insentif di tahun depan.
"Pemerintah dapat menambahkan syarat tambahan yang berkaitan dengan performa kendaraan listrik untuk mendorong peningkatan keandalan kendaraan listrik serta ekosistem riset dan pengembangan dari industri kendaraan listrik yang ada di Indonesia. Standar tersebut misalnya jarak tempuh kendaraan, kapasitas baterai minimal, dan efisiensi konversi," kata Peneliti IESR Faris Adnan.
Lebih lanjut, kata Faris, hal menarik lainnya dari insentif kendaraan listrik ini ialah prioritas pemberian insentif bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya penerima kredit usaha kecil (KUR) dan bantuan produktif usaha mikro (BPUM), termasuk pelanggan listrik 450-900 volt ampere (VA).
Namun, menurutnya pengendara motor penyedia transportasi daring (online) atau penyedia jasa logistik perlu pula menjadi prioritas.
"Pengendara ojek 'online' atau logistik perlu diprioritaskan dalam pemberian bantuan ini karena mereka memiliki jarak tempuh yang jauh per harinya sehingga manfaat ekonomi yang didapat bagi pengguna maupun pemerintah akan lebih besar. Jumlah bantuan yang ditawarkan pun perlu didorong lebih tinggi dibandingkan jumlah bantuan bagi penerima awam, yakni di atas Rp 7 juta," tuturnya.
Namun, untuk mendorong adopsi kendaraan listrik yang lebih agresif dan menjamin efektivitas insentif, IESR menyebut diperlukan sejumlah reformasi kebijakan, di antaranya pengurangan subsidi BBM dan kebijakan untuk menghentikan secara bertahap (phase-out) kendaraan BBM, mulai dari kendaraan penumpang (passenger car) sebelum 2045, dan motor konvensional. IESR memandang meskipun reformasi kebijakan tersebut bukan kebijakan populis, tetapi perlu diambil oleh pemerintah dengan pertimbangan yang dalam.