Gaikindo: Target Produksi Sejuta Mobil Listrik, Menantang

Mobil listrik tak hanya soal insentif pembelian, tetapi juga infrastrukturnya.

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Pengunjung berdiri disamping kendaraan listrik yang sedang mengisi daya di SPKLU di Balai Kota Bogor, Jawa Barat (ilustrasi). Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai target produksi sejuta mobil listrik (electric vehicle/ EV) pada 2035 akan cukup menantang dicapai meski pemerintah telah mengumumkan soal insentif pembelian kendaraan listrik.
Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai target produksi sejuta mobil listrik (electric vehicle/ EV) pada 2035 akan cukup menantang dicapai meski pemerintah telah mengumumkan soal insentif pembelian kendaraan listrik.

Baca Juga


Sekretaris Jenderal Gaikindo Kukuh Kumara ditemui di acara media gathering PT Suryacipta Swadaya di Karawang, Jawa Barat, Rabu (8/3/2023), mengaku masih menunggu rincian insentif yang akan diberikan pemerintah.

"Insentif ini masih kita tunggu apakah cukup efektif untuk mencapai produksi satu juta unit mobil listrik pada 2035. Terus terang ini sesuatu yang baru dan kalau kita lihat insentifnya juga kita belum tahu besarannya," kata Kukuh.

Kukuh menuturkan, mobil listrik juga disebutnya kebanyakan merupakan pasar kelas menengah ke atas dan bukan pembeli pertama.

Ia pun menyinggung kendaraan hemat bahan bakar dan harga terjangkau (KB2H) atau low cost and green car (LCGC). Menurutnya, dengan harga di kisaran Rp 150an juta, mobil LCGC saat ini memegang pangsa pasar hingga 23 persen dengan total produksi sekitar 200 ribu unit.

"Kalau satu juta unit (target produksinya) ini cukup berat ya, tapi kita lihat perkembangannya seperti apa," imbuhnya.

Kukuh menyebut salah satu hal yang menentukan peningkatan pasar dan produksi kendaraan, termasuk kendaraan listrik, adalah perilaku dan minat masyarakat. Ia juga menilai pengembangan ekosistem mobil listrik di Indonesia sebaiknya dilakukan secara bertahap. Sebab, pengembangan kendaraan listrik bukan hanya bergantung pada insentif pembelian, tetapi juga dukungan infrastrukturnya.

Kukuh menyebut minat konsumen Cina yang pemerintahnya memberikan insentif sebesar 15 ribu dolar AS untuk pembelian kendaraan bermotor saja bisa langsung anjlok saat insentifnya dikurangi pemerintah.

Padahal di Cina infrastrukturnya luar biasa. Stasiun pengisian daya kendaraan listrik juga banyak. Namun, tetap masih berat mengembangkan kendaraan listrik di sana. "Kita enggak tahu perilaku masyarakat. Kita pun inginnya tren positif terus," kata Kukuh.

Ia menilai, kesiapan infrastruktur pengisian baterai yang perlu diperhatikan secara seksama. Ia tidak ingin kekacauan antrean kendaraan listrik seperti yang terjadi di Australia pada tahun baru lalu.

"Australia itu pasarnya hampir sama dengan Indonesia, hampir 1,3 juta unit setahun, cuma jumlah EV relatif rendah, cuma 20 ribu setahun. Tahun baru kemarin bahkan katanya ada kacau karena mereka yang punya EV mau tahun baruan, baterai habis mau isi daya tapi antre semua karena kan mengisinya tidak seperti antre bahan bakar lima menit selesai," ungkap Kukuh.

Kukuh juga khawatir pengumuman pemerintah soal pemberian bantuan insentif pembelian kendaraan listrik akan mengganggu penjualan. Hal itu menurutnya pernah terjadi saat ada isu insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) yang diberikan pada 2021.

"Kejadiannya sama dengan waktu dulu ada isu relaksasi PPnBM DTP pada 2020 mau dikeluarkan. Anjlok penjualan dari Agustus sampai September 2020, ternyata tidak keluar. Makanya saya tidak mau komentar takut mengganggu penjualan. Kita tunggu insentifnya," tutur Kukuh.

 

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler