SVB Bangkrut, Analis Beda Pendapat Soal Dampaknya Terhadap Indonesia

Silicon Valley Bank, bank andalan perusahaan teknologi dan rintisan di AS bangkrut.

AP Photo/Jeff Chiu
Petugas Polisi Santa Clara keluar dari Silicon Valley Bank di Santa Clara, California, Jumat, 10 Maret 2023. Federal Deposit Insurance Corporation menyita aset Silicon Valley Bank, menandai kegagalan bank terbesar sejak Washington Mutual selama puncak 2008 krisis keuangan. FDIC memerintahkan penutupan Silicon Valley Bank dan segera mengambil semua simpanan di bank pada hari Jumat.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Dian Fath Risalah, Retno Wulandari

Baca Juga


Pihak regulator di Amerika Serikat (AS) pada Jumat (10/3/2023) pekan lalu bergegas menyita aset salah satu bank top di Silicon Valley. Dilaporkan Associated Press, Silicon Valley Bank (SVB), bank terbesar ke-16 di negara itu, bangkrut setelah deposan bergegas menarik uang simpanannya di tengah kecemasan atas kesehatan likuiditas bank tersebut.

Apa yang terjadi pada SVB adalah kegagalan terbesar kedua dalam sejarah perbankan AS setelah runtuhnya Washington Mutual pada 2008. SVB dikenal melayani sebagian besar pekerja teknologi dan perusahaan yang didukung modal ventura, termasuk beberapa merek industri yang paling terkenal.

"Ini adalah peristiwa tingkat kehancuran untuk startup,” kata Garry Tan, CEO Y Combinator, inkubator startup yang meluncurkan Airbnb, DoorDash, dan Dropbox dan telah merujuk ratusan pengusaha stratup digital ke bank tersebut.

“Saya benar-benar telah mendengar dari ratusan pendiri kami yang meminta bantuan tentang bagaimana mereka dapat melewati ini. Mereka bertanya, ‘Apakah saya harus merumahkan pekerja saya?’”

Hampir setengah dari perusahaan teknologi dan perawatan kesehatan AS yang go public tahun lalu, bertahan setelah mendapatkan pendanaan awal dari perusahaan modal ventura. Mereka semua adalah pelanggan Silicon Valley Bank, menurut situs bank tersebut.

Bank itu juga membanggakan hubungannya dengan perusahaan teknologi terkemuka seperti Shopify, ZipRecruiter, dan salah satu firma modal ventura teratas, Andreesson Horowitz. Garry Tan memperkirakan hampir sepertiga dari startup Y Combinator tidak akan dapat melakukan pembayaran gaji di beberapa bagian di bulan depan jika mereka tidak dapat mengakses uang mereka.

Penyedia TV internet, Roku termasuk di antara korban keruntuhan SVB. Sekitar 26 persen dari uang tunai Roku, senilai 487 juta dolar AS, disimpan di Silicon Valley Bank. Meski demikian, Roku mengatakan simpanannya di SVB sebagian besar tidak diasuransikan dan perusahaan ini tidak tahu sejauh mana kondisi bank itu akan dapat pulih kembali

Sebagai bagian dari penyitaan, regulator bank California dan FDIC mentransfer aset bank ke lembaga yang baru dibuat, Deposit Insurance Bank of Santa Clara. Bank baru akan mulai membayar simpanan yang diasuransikan pada Senin (13/3/2023) ini. Kemudian regulator FDIC dan California berencana untuk menjual sisa aset untuk menjaga simpanan deposan lain tetap utuh.

 

Kebangkrutan SVB terjadi dengan kecepatan luar biasa. Beberapa analis industri mengatakan, pada Jumat pagi bahwa bank tersebut masih merupakan perusahaan yang baik dan investasi yang aman. Sementara itu, eksekutif Silicon Valley Bank berusaha mengumpulkan modal dan mencari investor tambahan.

Namun, perdagangan saham bank dihentikan sebelum bel pembukaan pasar saham karena volatilitas yang ekstrim. Sesaat sebelum tengah hari, FDIC bergerak untuk menutup bank.

Gedung Putih mengatakan, Menteri Keuangan Janet Yellen ikut mengawasi dengan cermat kondisi SVB. Administrator di AS berusaha meyakinkan publik bahwa sistem perbankan saat ini jauh lebih sehat daripada selama Resesi Hebat pada 2008.

“Sistem perbankan kita berada di tempat yang berbeda secara fundamental dibandingkan satu dekade lalu,” kata Cecilia Rouse, ketua Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih. “Reformasi yang dilakukan saat itu benar-benar memberikan ketahanan yang ingin kami lihat,” imbuhnya.

Saat dinyatakan bangkrut, SVB yang berbasis di Santa Clara, California, memiliki total aset 209 miliar dolar AS. Tidak jelas berapa banyak simpanan  di SVB di atas batas asuransi 250 ribu dolar, tetapi laporan sebelumnya menunjukkan bahwa banyak rekening yang melebihi jumlah itu.

Pada Kamis (9/3/2023), SVB mengumumkan rencana untuk meningkatkan posisi modalnya hingga 1,75 miliar dolar AS. Pengumuman itu memicu investor bergegas pergi dan saham pun anjlok 60 persen. Saham mereka jatuh lebih rendah lagi pada Jumat sebelum pembukaan Nasdaq, tempat saham bank itu diperdagangkan.

Seperti namanya, Silicon Valley Bank adalah saluran keuangan utama antara sektor teknologi, perusahaan rintisan, dan pekerja teknologi. Didirikan pada 1983 oleh salah satu pendiri Bill Biggerstaff dan Robert Medearis, bank memanfaatkan akar Silicon Valley untuk menjadi landasan keuangan dalam industri teknologi.

Bill Tyler, CEO TWG Supply di Grapevine, Texas, mengatakan dia pertama kali menyadari ada sesuatu yang salah ketika karyawannya mengirim pesan singkat kepadanya pada pukul 6:30 pagi pada Jumat. Karyawan itu mengeluh bahwa mereka tidak menerima gaji mereka.

TWG, yang hanya memiliki 18 karyawan, telah mengirimkan uang untuk cek tersebut ke penyedia layanan penggajian yang menggunakan Silicon Valley Bank. Tyler pun berusaha keras mencari cara untuk membayar pekerjanya.

"Ini sudah bukan pembayaran tepat waktu. Ini sudah posisi yang tidak nyaman. Saya tidak ingin meminta karyawan mana pun, untuk mengatakan, 'Hei, bisakah Anda menunggu hingga pertengahan minggu depan untuk mendapatkan bayaran?'" kata Tyler.

Ikatan SVB dengan sektor teknologi pun menambah masalahnya. Diketahui, saham-saham perusahaan teknologi terpukul keras dalam 18 bulan terakhir setelah lonjakan pertumbuhan selama pandemi, dan PHK telah menyebar ke seluruh industri. Pendanaan modal ventura juga menurun.

Pada saat yang sama, SVB ikut terpukul oleh perjuangan Federal Reserve melawan inflasi dan serangkaian kenaikan suku bunga yang agresif untuk mendinginkan perekonomian. Saat Fed menaikkan suku bunga acuannya, nilai obligasi yang umumnya stabil mulai turun.

Kenaikan suku bunga oleh the Fed biasanya bukanlah masalah. Tetapi, ketika para deposan menjadi cemas dan mulai menarik uang mereka, bank terkadang harus menjual obligasi tersebut sebelum jatuh tempo untuk menutupi eksodus dana secara besaran-besaran.

Itulah yang terjadi pada Silicon Valley Bank pada pekan lalu. Yang kemudian harus menjual 21 miliar dolar AS, aset yang sangat likuid untuk melayani penarikan mendadak dana para nasabah.

Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengatakan tengah bekerja sama dengan regulator perbankan untuk mengatasi kebangkrutan Silicon Valley Bank. Dia menegaskan tidak mempertimbangkan bailout atau dana talangan besar untuk SVB.

"Biar saya perjelas, selama krisis keuangan, ada investor dan pemilik bank besar yang diberi talangan dan reformasi yang telah dilakukan berarti kita tidak akan melakukannya lagi," kata Yellen kepada CBS News seperti dikutip dari Reuters, Ahad (12/3/2023).

 


 

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan, kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) Financial Group tentunya memiliki dampak sistemik. Diperkirakan, setelah kejatuhan SVB akan diikuti bank-bank lain yang memiliki hubungan erat dengan SVB.

Kegagalan dramatis bank induk SVB di AS yang berfokus pada perusahaan rintisan teknologi itu merupakan yang terbesar sejak krisis keuangan 2008. Setelah SVB bangkrut, para pelaku pasar mewaspadai tanda-tanda penularan di sektor keuangan. Bank yang berfokus pada perusahaan startup ini mengungkapkan rencana untuk menghentikan operasi dan melikuidasi secara sukarela.

"Melihat ukuran SVB yang besar, menjadi tempat simpanan dana skala besar dan sekaligus menjadi pemberi kredit utama ke startup, menurut saya sangat mungkin krisis SVB ini akan menyebar menjadi krisis keuangan global," kata Yusuf kepada Republika, Senin (13/3/2023).

Yusuf memandang pemerintah Indonesia pun perlu bersiaga setelah SVB bangkrut. Meskipun, saat ini kondisi keuangan di Indonesia cukup stabil.

"Menurut saya, otoritas Indonesia perlu bersiaga. Meski kondisi perbankan dan sektor keuangan kita saat ini cukup stabil, namun beberapa kegagalan bayar korporasi, dengan yang terakhir kasus gagal bayar obligasi Waskita Karya, menjadi sinyal yang harus sangat diwaspadai," ujarnya.

Akademisi dari Universitas Indonesia itu mengatakan, kegagalan bayar oleh korporasi besar akan berpotensi sistemik ke perbankan. Terlebih, perbankan di Indonesia saat ini juga memegang obligasi pemerintah dalam jumlah besar.

"Meski hingga kini pertumbuhan ekonomi kita masih stabil dan salah satu yang terbaik di dunia, namun resiko dari pengetatan likuiditas global pasca kebangkrutan SVB terhadap perekonomian domestik tidak bisa diabaikan," tutur Yusuf.

Diketahui, saham SVB sudah dihentikan pada Jumat lalu. Sedangkan saham bank menengah AS lainnya semakin rugi besar akhir-akhir ini. Indeks bank regional S&P 500 turun 4,3 persen, membawa kerugiannya pekan ini menjadi 18 persen atau terburuk sejak 2009. Lalu berbagai bank AS telah kehilangan 100 miliar dolar AS lebih nilai pasar saham dalam dua hari. Sementara beberapa bank Eropa kehilangan sekitar 50 miliar dolar AS.

 

Kepala Riset Noex Investindao Ariston Tjendra meyakini, krisis yang dialami Silicon Valley Bank tidak akan merembet ke Indonesia. Menurutnya, pasar keuangan domestik aman dari dampak kebangkrutan bank yang menjadi andalan para startup dunia tersebut. 

"Melihat perkembangan terakhir kelihatannya tidak mengganggu pasar keuangan Indonesia," kata Ariston Tjendra kepada Republika, Senin. 

Menurut Ariston, regulator perbankan AS telah mengambil langkah menjamin seluruh deposit nasabah SVB. Langkah tersebut diyakini akan membatasi risiko sistemik ke sistem keuangan AS.

Di sisi lain, lanjut Ariston, pasar keuangan Indonesia justru akan mendapatkan angin segar dari The Federal Reserve. Pelaku pasar memperkirakan Bank Sentral AS tersebut tidak akan menaikkan suku bunga acuannya dengan agresif karena kejadian bank bangkrut ini.

"Sehingga hal ini akan mendorong penguatan rupiah," kata Ariston.

Peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manile menilai, terdapat perbedaan mendasar yang menjadi penyebab kerugian yang dialami SVB saat ini dengan dengan krisis pada 2008.  "Kalau kita lihat dari kasus Bank SVB saat ini karena lebih banyak membiayai perusahaan teknologi dan saya kira ada juga faktor dari miss management dari bank itu sendiri," ujarnya kepada Republika, Ahad  (12/3/2023).

Sementara pada kasus subprime mortage 2008 lebih banyak disebabkan oleh tidak lancarnya pembayaran dari pembiayaan perumahan di AS. Bahkan, yang memperparah keadaan saat itu adalah banyaknya dana yang ditempatkan pada instrumen investasi yang berisiko tinggi dan berkaitan antara pasar keuangan global. 

"Sehingga kita ingat ketika itu dampaknya relatif lebih global," tuturnya.

Yusuf melanjutkan, untuk saat ini, dampak yang mungkin akan dialami global bahkan di Indonesia menurutnya lebih ke pasar keuangan secara sentimen, karena kekhawatiran dari kolapsnya SVB akan melebar di AS. Namun kalau dilihat kondisi saat ini sebenarnya respon pasar terhadap kasus ini belum terlihat begitu besar.

"Saya kira pengaruhnya ke pasar keuangan, terutama pengaruh sifatnya destruktif,  ke Amerika Serikat relatif kecil," tuturnya.

 

Surat Berharga Syariah Negara SR018 - (Tim infografis Republika)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler