Pelaku Pencabulan Anak di Jambi Diketahui Hiperseks, Apa Saja Tandanya?

Perempuan berusia 20 tahun di Jambi mencabuli 17 anak.

Pixabay
Perempuan depresi (Ilustrasi). Pengidap hiperseks mungkin terus bergumul dengan perasaan bersalah, malu, dan rendah diri yang pada akhirnya mengarah pada depresi hingga keinginan bunuh diri.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perempuan berinisial YS (20 tahun) yang diduga mencabuli 17 anak di Jambi disebut punya kecenderungan hiperseks. Istilah itu merupakan perilaku seksual kompulsif dengan fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang berlebihan dan sulit dikendalikan.

Situs resmi Mayo Clinic menjelaskan, hiperseksualitas bisa menyebabkan seseorang tertekan, atau secara negatif memengaruhi kesehatan, pekerjaan, hubungan, dan bagian lain dalam hidup. Hiperseksulitas bisa membuat pengidapnya melakukan masturbasi, seks siber, berganti-ganti pasangan seksual, mengakses pornografi, atau membayar untuk seks.

Ketika perilaku seksual menjadi fokus utama dalam hidup seseorang, sulit dikendalikan, dan mengganggu atau berbahaya bagi diri sendiri atau orang lain, itu dapat dianggap sebagai perilaku seksual kompulsif. Ada beberapa indikasi bahwa seseorang mungkin berjuang dengan perilaku seksual kompulsif.

Gejala itu termasuk adanya fantasi, dorongan, dan perilaku seksual berulang dan intens yang menghabiskan banyak waktu dan terasa di luar kendali. Tanda lain yakni apabila seseorang merasa terdorong untuk melakukan perilaku seksual tertentu, merasakan ketegangan setelahnya, tetapi juga bersalah atau menyesal.

Orang itu mungkin juga telah mencoba untuk mengurangi dan mengendalikan fantasi, dorongan, atau perilaku seksual, namun tidak membuahkan hasil. Gejala lain yaitu apabila perilaku seksual digunakan sebagai pelarian dari masalah lain.

Seseorang perlu segera mencari bantuan ke dokter atau profesional kesehatan mental jika merasa kehilangan kendali atas perilaku seksual, terutama jika perilaku itu berpotensi menyebabkan masalah bagi diri sendiri atau orang lain. Terlebih, perilaku seksual kompulsif cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Penyebab perilaku seksual kompulsif belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut pakar di Mayo Clinic, itu mungkin dipicu oleh ketidakseimbangan bahan kimia otak (neurotransmiter) seperti serotonin, dopamin, dan norepinefrin.

Perilaku seksual kompulsif mungkin merupakan kecanduan yang seiring waktu dapat menyebabkan perubahan pada sirkuit saraf otak, terutama di pusat penguatan otak. Seperti bentuk kecanduan lainnya, konten dan rangsangan seksual yang lebih intensif biasanya terus-menerus diperlukan untuk kepuasan.

Bisa pula pemicunya adalah penyakit atau masalah kesehatan tertentu, seperti epilepsi dan demensia. Kedua kondisi itu dapat menyebabkan kerusakan pada bagian otak yang memengaruhi perilaku seksual. Selain itu, pengobatan penyakit parkinson dengan beberapa obat agonis dopamin dapat menyebabkan perilaku seksual kompulsif.

Perilaku seksual kompulsif dapat dijumpai pada laki-laki maupun perempuan, meskipun lebih sering terjadi pada laki-laki. Gangguan ini juga dapat mempengaruhi siapa saja, terlepas dari orientasi seksualnya.

Faktor yang dapat meningkatkan risiko perilaku seksual kompulsif termasuk kemudahan akses ke konten seksual. Begitu pula kemajuan teknologi dan media sosial yang memungkinkan akses citra dan informasi seksual yang semakin intensif.

Baca Juga


Kerahasiaan dan privasi aktivitas seksual kompulsif cenderung membuat masalah ini memburuk dari waktu ke waktu. Peningkatan risiko perilaku seksual kompulsif dapat terjadi pada orang yang kecanduan alkohol, terlibat penyalahgunaan narkoba, dan memiliki gangguan suasana hati, seperti depresi, kecemasan, atau kecanduan judi.

Konflik keluarga atau masalah dengan anggota keluarga, riwayat pelecehan fisik, serta pelecehan seksual juga dapat menjadi faktor risiko. Perilaku seksual kompulsif patut diwaspasai karena berpotensi menimbulkan banyak konsekuensi negatif.

Pengidapnya mungkin terus bergumul dengan perasaan bersalah, malu, dan rendah diri yang pada akhirnya mengarah pada depresi hingga keinginan bunuh diri. Bagi yang sudah berpasangan, gangguan itu bisa saja menghancurkan hubungan.

Hiperseksualitas bisa membuat seseorang terlalu fokus mengakses pornografi dan layanan seksual, bahkan tertular HIV atau infeksi menular seksual lainnya. Hilangnya kendali atas dorongan seksual pun dapat mengarah pada perilaku seksual yang tidak sehat, praktik seksual yang berisiko, hingga kejahatan seksual.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler