Komisi III Panggil Mahfud dan Sri Mulyani Dalami Transaksi Mencurigakan
Komisi III mendapatkan konfirmasi adanya TPPU dalam transaksi mencurigakan Kemenkeu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR menskors rapat dengar pendapat dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) hingga 11 April mendatang. Adapun pada 29 Maret 2023, mereka akan memanggil Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
"Tanggal 29 Maret dengan Ketua Komite Nasional TPPU, Pak Menko. (Rapat bersama) PPATK tanggal 11 April, beliau juga hadir tapi sebagai Sekretaris Komite Nasional," ujar Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni usai rapat dengar pendapat dengan PPATK, Selasa (21/3/2023).
Komisi III, uar Sahroni, akan membuat surat undangan agar bisa mengundang Sri dalam rapat pada 29 Maret mendatang bersama Mahfud. Sebab, Menkeu merupakan mitra kerja dari Komisi XI DPR.
"Penyelesaiannya kita belum tahu dan pada 29 (Maret) nanti kita akan tindak lanjuti. Sehingga kita akan pertanyakan bentuk konsep rapat kita nanti apakah akan terbuka atau tertutup," ujar Sahroni.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa telah mendapatkan konfirmasi dari Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, bahwa ada tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam temuan transaksi mencurigakan di Kemenkeu senilai Rp 349 triliun. Konfirmasi tersebut menjadi landasan pihaknya untuk menjadikan kasus tersebut sebagai perhatian khusus.
Salah satunya dengan pembentukan panitia khusus (Pansus) untuk mendalami temuan PPATK tersebut. Sebab temuan tersebut menandakan adanya masalah besar dalam pengelolaan pajak sebagai sumber pendapatan negara.
"Di rapat Komisi III ini saya ingin mempertegas (adanya TPPU), karena saya berpikir kalau ini ada sesuatu terhadap pajak sebagai sumber pendapatan negara, sesudah ini perlu ada Pansus DPR untuk keseriusan ini," ujar Desmond dalam RDP dengan PPATK.
Pansus tersebut juga bertujuan dalam mengungkap indikasi tindak pidana pencucian uang di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jangan sampai tindak pidana tersebut sudah menjadi praktik yang dilakukan masif secara kelembagaan.
"Apakah itu berkaitan dengan sejumlah orang misalnya siapa Alun Alun itu? Atau ada Alun Alun Alun yang lain jumlahnya 300? Apakah itu? Atau memang ini kelembagaan, apakah ini kelembagaan?" ujar Desmond.