Anggota DPR: Wajar Ada Pro dan Kontra Terkait UU Ciptaker

Bagi pihak yang masih kontra disarankan agar menjalani judicial review ke MK

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Massa yang tergabung dalam Aliansi Simpul Puan melakukan aksi di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/3/3023). Dalam aksi yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional tersebut, mereka menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PPRT, berikan upah yang layak serta menolak Perppu CIpta Kerja.
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo menilai wajar terdapat pro dan kontra dalam kehidupan negara demokrasi terkait pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perpu Ciptaker) menjadi undang-undang.

"Kita maklum, kita pahami masih banyak penolakan," kata Rahmad dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (28/3/2023).

Rahmad mengajak masyarakat menghormati produk politik dan hukum yang sudah pemerintah dan parlemen sahkan, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja. Kalau pun menolak bisa melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Keputusan sudah diambil. Apa pun keputusannya tentu ini adalah produk politik dan hukum yang harus dihormati bersama," kata Rahmad.

Rahmad memberi solusi untuk meredam masih banyaknya penolakan pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang. Solusi yang Rahmad berikan adalah pemerintah melakukan sosialisasi masif terkait seluruh isi undang-undang. Seluruh elemen dari konfederasi pekerja, akademisi, dan mahasiswa harus dilibatkan dalam penyusunan peraturan pemerintah terkait UU Cipta Kerja.

"Misalnya, masyarakat dilibatkan terkait aturan alih daya yang dibatasi. Dibatasi macam apa nanti yang dikehendaki? Baru dijadikan peraturan pemerintah. Ini tentu bisa mengakomodasi pihak yang menolak. Dari pekerja dilibatkan, akademisi dilibatkan, itu bisa meminimalkan rasa ketidaksetujuan, sedikit mengobati, dan menerima," kata Rahmad.

Berikutnya, lanjut Rahmad, bagi pihak yang masih kontra disarankan agar menjalani proses hukum melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kepada para pihak, baik mahasiswa, pekerja, dan akademisi yang masih tidak setuju, kita hormati karena ini demokrasi. Tapi perpu sudah disahkan menjadi UU, satu tahap sudah dilalui. Setiap negara wajib menaati, tetapi masih ada tahap judicial review ke MK, silakan kita hormati. Tetapi catatan, apa pun putusan MK nanti harus ditaati semua pihak," kata Rahmad.

Baca Juga


sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler