Thrifting Merugikan, Asosiasi Tekstil: UMKM tak Bisa Bersaing dengan Barang Sampah

Industri tekstil yang bangkrut akan menyebabkan perbankan kolaps juga.

Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja merapihkan produk fashion di Fakelab, Yogyakarta, Selasa (28/3/2023). Masuknya produk fashion bekas atau thrifting ke Indonesia ikut memengaruhi penjualan produk fashion dalam negeri. Penurunan penjualan ini sejak pertengahan lalu dan angkanya mencapai 50 persen.
Rep: Iit Septyaningsih Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan, jual beli baju bekas impor ilegal atau thrifting berefek domino. Itu karena tidak hanya industri tekstil yang terdampak, tapi juga Industri Kecil Menengah (IKM), pabrik garmen, hingga perbankan.

"Kalau (efek) secara finansial tidak besar-besar banget, tapi efek secara domino kita bisa lihat," ujar Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Baca Juga


Ia melanjutkan, IKM atau UKM bisa mati karena tidak dapat bersaing dengan berbagai barang sampah yang masuk ke Tanah Air. Ia menegaskan, nilai barang sampah tersebut mendekati nol, sehingga sulit disaingi. Jika IKM tidak dapat berkompetisi, lanjutnya, maka mereka tidak bisa lagi membeli tekstil dari industri tekstil.

"Industri tekstil pasti industri besar, kalau yang besar ini tidak bisa jual ke UKM, mereka kehilangan market. Maka akan mati juga," jelas Danang.

Kalau industri tekstil mati, sambung dia, industri garmen besar ikut mati. Kemudian dapat menyebabkan perbankan kolaps atau bangkrut, karena bank yang menyalurkan kredit ke berbagai level di industri tekstil dan garmen.

"Ini suatu siklus. Mata rantai yang berbahaya kalau situasi thrifting dibiarkan jadi satu budaya fashion murah, orang nggak peduli lagi risiko dampaknya ke nasional," tegasnya.

Danang melanjutkan, sebenarnya kekhawatiran API terhadap perilaku thrifting sudah dirasakan sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan enam bulan lalu, asosiasi banyak sekali mengeluarkan pemberitahuan kepada pemerintah, baik Kementerian Pedagangan, Kementerian Perindustrian, maupun penegak hukum.

Itu karena menurutnya, aktivitas tersebut jelas melanggar dari proses importasinya. Hanya saja, jelas dia, kalau dari proses perdagangannya dari UKM ke para pembeli tidak masalah.

"Yang kita lihat jadi masalah besar kan importasinya. Kekhawatiran kita kalau importasinya semakin besar dan besar, ini akan jadi masalah besar," tuturnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler