Warga Palestina Israel Enggan Ikut Berpartisipasi dalam Aksi Protes Reformasi Peradilan
Warga Palestina Israel memiliki populasi seperlima dari 9,6 juta penduduk Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, HAIFA -- Amal Oraby biasanya menjadi orang yang terdepan ketika ada di protes jalanan. Tetapi Oraby tidak berpartisipasi dalam aksi protes besar-besaran untuk menentang rencana reformasi peradilan yang diusulkan pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Oraby yang merupakan aktivis dan pengacara, adalah salah satu dari banyak warga Palestina Israel yang tetap berada di luar dari beberapa putaran aksi protes terbesar dan paling berkelanjutan di negara itu. Sebagai minoritas yang telah lama diganggu oleh diskriminasi sistemik, orang-orang Israel Palestina memiliki potensi kerugian terbesar jika rencana reformasi peradilan itu disahkan.
"Saya tidak melihat diri saya di sana," kata Oraby.
Komunitas Israel-Palestina memiliki insting bahwa sistem tersebut telah dicurangi, karena Pemerintah Israel selalu bertindak seperti itu. Oraby menilai demonstrasi sebagai gerakan eksklusif Yahudi yang tidak mau memasukkan isu-isu yang penting bagi warga Palestina. Orang-orang Yahudi buta terhadap ketidakadilan yang telah berlangsung lama terhadap warga Palestina.
Ciri-ciri patriotik dari gerakan tersebut hanya memperkuat kenyataan bahwa tidak ada ruang bagi orang Israel Palestina. Dominasi Israel dapat dilihat dari bendera Bintang Daud yang berkibar di mana-mana, lagu kebangsaan tentang kerinduan jiwa Yahudi untuk Israel, dan partisipasi besar dari mantan pejabat militer.
“Dalam demonstrasi ini, kami tidak berbicara tentang pendudukan. Kami tidak berbicara tentang rasisme. Kami tidak berbicara tentang diskriminasi. Dan mereka menyebutnya perjuangan untuk demokrasi," kata mantan legislator di parlemen Israel, Sami Abou Shehadeh.
Penyelenggara protes menyatakan, mereka telah berulang kali mengundang warga Israel Palestina untuk berpartisipasi. Tetapi penyelenggara meminta agar mereka tetap terfokus pada perombakan peradilan tersebut.
Warga Palestina Israel memiliki populasi seperlima dari 9,6 juta penduduk. Mereka mempunyai hak untuk memilih dan memiliki perwakilan Arab di parlemen. Satu partai Arab baru-baru ini bergabung dengan koalisi pemerintahan untuk pertama kalinya, tetapi mereka telah lama menderita diskriminasi di berbagai bidang, dari perumahan hingga pekerjaan.
Keturunan Palestina yang berada di Israel dipandang oleh banyak orang Yahudi Israel sebagai kolom kelima. Karena ikatan dan solidaritas mereka dengan orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Sementara orang Israel Palestina dalam banyak kasus naik ke eselon tertinggi pemerintahan, akademisi, dan bisnis, dengan populasi secara keseluruhan lebih miskin dan kurang berpendidikan daripada orang Israel Yahudi. Dalam kritik mereka terhadap Mahkamah Agung, orang Israel Palestina merujuk pada keputusan tahun 2021 untuk menegakkan undang-undang kontroversial yang mendefinisikan negara sebagai negara-bangsa orang Yahudi. Mereka mengklaim undang-undang ini mendiskriminasi minoritas.
Seorang peneliti di Israel Democracy Institute, sebuah lembaga think tank Yerusalem, Muhammed Khalaily, mengatakan pengadilan umumnya mengizinkan Israel untuk membangun di tanah yang diduduki dan secara teratur mengizinkan Israel untuk menghancurkan rumah penyerang Palestina. Namun, sebagai minoritas, mereka bisa kehilangan lebih banyak jika Israel menjadi lebih tidak liberal. Perlindungan terhadap mereka bisa terancam.
Misalnya seorang anggota senior pemerintahan Netanyahu, pernah meminta bangsal bersalin terpisah. Potensi masa depan yang suram itu belum cukup untuk menarik mereka ke dalam protes. Setelah menyaksikan hak-hak mereka sendiri diserang selama bertahun-tahun, beberapa komunitas merasakan pengkhianatan bahwa orang Yahudi Israel tidak pernah bersatu melawan ketidakadilan itu dengan semangat yang sama seperti yang mereka tunjukkan selama tiga bulan terakhir.
"Di mana kalian? Di mana Anda selama perjuangan kami?," ujar Oraby.
Penyelenggara protes Shir Nosatzki mengatakan, dia menyadari kerumitan yang membuat warga Palestina Israel menjauh. Tetapi dia mengklaim telah berupaya mengajak komunitas Israel Palestina untuk berpartisipasi dalam aksi protes.
“Tidak ada kelompok lain dalam masyarakat Israel yang telah menjadi sasaran dari begitu banyak upaya untuk mengikatnya ke dalam protes tersebut,” kata Nosatzki, yang merupakan kepala kelompok yang mendorong kemitraan politik Yahudi-Arab.
Namun kenyataannya aksi protes itu tidak menarik bagi warga Israel Palestina. Mantan pejabat militer yang ikut berpartisipasi dalam protes kerap membicarakan tentang pencapaian pertempuran mereka melawan Palestina dan lainnya. Klaim ini sangat menyakitkan untuk didengar oleh orang Israel Palestina.
Sebuah kontingen kecil sayap kiri Israel yang menentang pendudukan telah dikucilkan oleh pengunjuk rasa lain karena mengibarkan bendera Palestina dan mencoba mengangkat masalah Palestina dalam protes. Mereka takut hal itu akan mendorong lebih banyak nasionalis Israel menjauh atau digunakan oleh lawan untuk mencoreng protes sebagai kedok bagi kaum kiri radikal.
Beberapa warga Palestina mendukung partisipasi dalam protes. Sementara warga lainnya mencoba membonceng demonstrasi, dengan menciptakan gerakan mereka sendiri untuk menuntut Israel memperlakukan semua warga negara secara setara.
Seorang aktivis politik, Reem Hazzan, mengatakan, dia menerima undangan untuk berbicara pada protes bulan lalu di Kota Haifa. Tetapi Hazzan mundur pada menit terakhir setelah dia mengatakan penyelenggara meminta perubahan pada pidatonya. Dia mengatakan itu bukan langkah yang tepat untuk demonstrasi.
Nosatzki mengatakan semua pembicara mengirimkan pidatonya untuk ditinjau, sehingga cenderung menimbulkan ketegangan.
“Ini adalah perjuangan yang kurang jika tidak membahas akar masalahnya. Undangan nyata untuk warga Arab akan tulus ketika protes ini datang dan berkata, 'Teman-teman, kami ingin membangun masa depan bersama, tanpa pendudukan, dengan perdamaian dan kesetaraan'," ujar Hazzan.
Demonstrasi besar-besaran selama berbulan-bulan dan pemogokan umum memaksa Netanyahu menunda pembahasan reformasi peradilan. Perubahan peradilan tersebut akan memberikan kendali kepada pemerintah atas siapa yang menjadi hakim dan membatasi peninjauan kembali atas keputusan dan undang-undangnya.
Pemerintah Netanyahu mengatakan proposal itu akan memudahkan proses pembuatan undang-undang dan mengendalikan peradilan yang dipandang memiliki simpati liberal. Kritikus mengatakan, reformasi peradilan akan merusak sistem check and balances negara dan membangkitkan oposisi dari berbagai masyarakat Israel, termasuk ekonom terkemuka, pejabat tinggi hukum dan bahkan militer.
Sementara para pengunjuk rasa mengatakan tujuan mereka adalah untuk melindungi Mahkamah Agung, yang dilihat oleh orang Yahudi sebagai benteng melawan tirani. Sementara orang Israel Palestina melihat pengadilan tersebut telah berulang kali mengecewakan mereka. Orang Israel Palestina telah lama memandang demokrasi Israel ternoda oleh perlakuan negara itu terhadap mereka. Termasuk pendudukan tanah terbuka selama 55 tahun yang diinginkan orang Palestina untuk negara merdeka.