Ngeyel, Soeharto Ogah Pakai Rompi Antipeluru Saat Kunjungi Bosnia pada 1995
Saat tiba di Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, suasana perang begitu mencekam.
MAGENTA -- Kenekatan presiden Soeharto mengunjungi Bosnia Herzegovina yang tengah berperang sempat mendapat pertanyaan dari Letjen (Purn) TNI Sjafrie Sjamsoeddin. Peristiwa itu terjadi pada 1995.
Saat itu, Sjafrie Sjamsoeddin adalah orang yang bertanggungjawab atas keselamatan Soeharto. Ia menjabat sebagai Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden denga pangkat kolenel inf.
Sjafrie bercerita saat tiba di Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, suasana perang begitu mencekam. Suara tembakan terdengar di kejauhan, di sana-sini gerakan prajurit-prajurit yang bersiaga penuh.
"Pak, kenapa sedang sensitif begini, Bosnia sedang kritis, Bapak datang?" tanya Sjafrie Sjamsoeddin dikutip dari buku Pak Harto: The Untold Stories yang disusun oleh Mahpudi dkk, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2011.
"Ya, kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin negara Non-Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok," kata Soeharto.
Sjafrie bertanya lagi; "Tapi, ini kan risikonya besar?"
"Ya, itu kita bisa kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka menjadi tambah semangat," kata Soeharto.
Baca juga: On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno
Soeharto Nekat Terbang ke Sarajevo
Sebelum terbang ke Sarajevo, kata Sjafrie, presiden Soeharto singgah dulu di ibu kota Kroasia, Zagreb untuk bertemu dengan presiden Kroasia Franjo Tudjman. Di Zagreb, Sjafrie mendapat informasi pesawat yang ditumpangi utusan khusus PBB, Yasushi Akashi, ditembaki saat terbang ke Bosnia.
Untung saja tidak jatuh korban. Insiden tersebut tak membuat nyali Soeharto menjadi ciut.
"Saya pamit dulu untuk pergi ke Sarajevo," kata Soeharto kepada presiden Kroasia.
Pada 13 Maret 1995, Seoharto tetap nekat terbang ke Sarajevo menggunakan pesawat sewaan buatan Rusia yang juga biasa dipakai PBB. Karena terbatasnya kursi, pengawal Soeharto saat itu hanya dua orang, yakni Kolonel Inf Sjafrie Sjamsoeddin dan Komandan Detasemen Pengawal Pribadi Presiden Mayor CPM Unggul K. Yudhoyono.
Di dalam pesawat itu ikut juga menlu Ali Alatas, mensesneg Moerdiano, panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung, kepala Badan Intelejen ABRI (BIA) Mayjen TNI Syamsir Siregar, komandan Paspamres Mayjen Jasril Jakub, dan ajudan presiden Kolonel Int. Sugiono.
Sesuai prosedur keamanan PBB, semua penumpang diminta mengisi formulir pernyataan risiko. Jika tidak diisi, pesawat tidak bisa berangkat. Sjafrie mengambil dua formulir. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk Soeharto.
"Apa itu?" tanya Soeharto.
"Pernyataan risiko, tanggung perorangan, Pak," jawab Sjafrie.
Baca juga: On This Day: 23 Maret 1946, Bandung Lautan Api, Menolak Tunduk pada Penjajah
Kertas formulir di tangan Sjafrie diambil Soeharto dan langsung ditandatangani, kemudian datanya diisi Sjafrie. Penerbangan Zagreb-Sarajevo memakan waktu 1,5 jam.
Kira-kira setengah jam sebelum mendarat, ada instruksi, "Kita akan memasuki daerah yang memerlukan pengamanan, penumpang diminta memakai helm dan rompi pengaman," cerita Sjafrie. Saat itu, semua penumpang pesawat sudah memakai rompi dan helm, tinggal Soeharto yang belum.
"Ini tempat duduk, di bawahnya sudah dikasih antipeluru, belum?" tanya Soeharto kepada Sjafrie.
"Sudah, Pak. Kami tutup semua dengan balas troop, untuk mengantisipasi tembakan dari bawah," jawab Sjafrie.
"Sampingnya?"
"Juga sudah, Pak," kata Sjafrie.
Baca juga: Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat
Soeharto Ogah Kenakan Rompi Antipeluru dan Helm
Menjelang mendarat di Sarajevo, dari jendela pesawat Sjafrie melihat senjata 12.7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang, berputar terus mengikuti arah pesawat rombongan Soeharto. Itu tidak mengherankan mengingat lapangan terbang Sarajevo dimiliki oleh dua pihak. Wilayah dari ujung ke ujung landasan adalah milik Serbia, sementara samping kiri-kanannya dikuasai Bosnia.
Kemudian suasana menjadi tegang karena Soeharto belum juga mengenakan rompi antipeluru dan helm. Sjafrie mencari akal bagaimana caranya Soeharto mau memakai rompi dan helm untuk memenuhi prosedur keselamatan internasional. Sjafrie akhirnya sengaja pindah duduk ke kursi di depan Soeharto sembari memegang rompi dan helm.