Pemerintah Myanmar Diminta Jamin Keamanan Repatriasi Warga Rohingya
Bangladesh telah menjadi rumah bagi 1,2 juta pengungsi Rohingya.
REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Komisaris Pengungsi untuk Rohingya di Bangladesh menyerukan agar Pemerintah Myanmar membangun kepercayaan dan memastikan keamanan bagi pengungsi Rohingya. Desakan itu muncul menyusul seruan untuk menangguhkan potensi kepulangan warga Rohingya ke tanah kelahiran mereka.
Bangladesh telah menampung dan memberikan dukungan kemanusiaan kepada 1,2 juta Muslim Rohingya, yang sebagian besar melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan di negara tetangganya, Myanmar selama penumpasan militer pada tahun 2017.
Sebuah pengawas hak asasi manusia terkemuka pekan lalu mendesak pihak berwenang di Bangladesh untuk menghentikan rencana untuk mengirim pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar. Hal itu setelah delegasi junta militer Myanmar, mengunjungi kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh pada bulan Maret untuk memverifikasi ratusan calon pengungsi yang kembali untuk proses yang seolah-olah bertujuan memulai kesepakatan repatriasi yang macet.
“Pemulangan harus bermartabat, sukarela dan berkelanjutan – ini adalah sikap Bangladesh,” kata Komisaris Bantuan dan Pemulangan Pengungsi Bangladesh Mizanur Rahman kepada Arab News, Selasa (4/4/2023).
“Untuk ini, sebagian besar tanggung jawab berada di pundak otoritas Myanmar… Ini adalah tanggung jawab negara tujuan untuk membawa warga mereka dengan percaya diri dan membangun suasana kepercayaan, keamanan, dan martabat.”
Bangladesh bersiap memulai pemulangan, tetapi “pertanyaannya tetap apakah Rohingya siap untuk dipulangkan,” kata Rahman, menambahkan bahwa badan pengungsi PBB akan dilibatkan untuk memeriksa kesediaan mereka jika proses itu akan dilakukan.
Human Rights Watch mengatakan pengembalian pengungsi Rohingya secara sukarela, aman dan bermartabat ke Myanmar tidak mungkin dilakukan saat junta militer melakukan pembantaian di seluruh negeri dan apartheid di Negara Bagian Rakhine.
Dalam sebuah pernyataan, HRW mengatakan pengungsi Rohingya dibohongi, ditipu, atau dipaksa oleh otoritas Bangladesh untuk bertemu dengan delegasi Myanmar bulan lalu.
“Agar kepulangan di masa depan benar-benar sukarela, otoritas Bangladesh perlu mengizinkan Rohingya untuk hidup bebas, tanpa memaksakan tekanan yang mendorong mereka untuk kembali,” kata Meenakshi Ganguly, direktur HRW Asia Selatan.
Bangladesh telah mendesak pemulangan warga Rohingya selama bertahun-tahun karena telah menampung para pengungsi meskipun tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.
Negara berkembang ini menghabiskan sekitar 1,2 miliar dolar AS per tahun untuk mendukung Rohingya, karena bantuan internasional untuk komunitas tersebut telah menurun sejak 2020 lalu.
Meskipun proses verifikasi baru-baru ini tampaknya menandakan kemungkinan kembalinya Rohingya ke Myanmar, namun menurut pakar migrasi yang berbasis di Dhaka Asif Munir, proses sebenarnya mungkin masih tertunda lebih lanjut.
"Prosesnya sejauh ini sangat salah," kata Munir, menambahkan bahwa Myanmar mungkin hanya ingin menunjukkan kepada komunitas internasional bahwa mereka bersedia mengambil kembali Rohingya.
Munir mengatakan kepada Arab News, “Kami telah melihat sebelumnya bahwa ada tanggal yang ditetapkan dan tidak ada pemulangan karena pada akhirnya orang-orang Rohingya enggan atau tidak mau pergi.
“Kita sudah tahu bahwa di sisi lain, belum ada perbaikan situasi secara keseluruhan terkait pengakuan identitas mereka, “Ini bukan masalah gerakan fisik saja. Ini lebih tentang kondisi dan dukungan yang mereka dapatkan dari otoritas dan komunitas lokal.
“Jika orang Rohingya memang ingin pindah, maka Bangladesh harus memastikan bahwa hal itu tidak mendorong mereka ke dalam sesuatu yang merugikan hak-hak mereka.”