Jejak Anas di Korupsi Hambalang dan Langgam Menantang 'Gantung Anas di Monas'

Pengamat menilai glorifikasi kebebasan Anas tak menghapus catatan hitam korupsinya.

Republika
Mantan Ketum Anas Urbaningrum bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Selasa (11/4/2023).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira B, Fauziah Mursid

Baca Juga


Anas Urbaningrum telah merampungkan masa hukuman penjara delapan tahun di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada Selasa (11/4/2023). Anas adalah narapidana kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang pada 2010-2012. 

Berdasarkan data yang dirangkum dari Pusat Data Republika, mantan ketua umum Partai Demokrat itu ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Februari 2013. Penetapan tersebut dilalui melalui jalan panjang penyelidikan KPK dan merujuk pada hubungan internal Partai Demokrat sendiri.

Beberapa bulan sebelumnya, Anas yang masih berkapasitas sebagai Ketum Demokrat tidak mengakui keterlibatannya pada kasus korupsi. "Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," kata Anas pada 2012.

Saat itu, pria kelahiran Blitar 1969 itu kesal terus ditanya soal keterlibatannya dalam korupsi Hambalang. Namun, KPK berkata lain yang pada akhirnya menetapkannya sebagai tersangka dugaan gratifikasi proyek Hambalang.

Usai ditetapkan tersangka, Anas mengaku masih bingung apakah masalah yang dihadapinya saat itu peristiwa hukum atau peristiwa politik. Namun, saat itu, Anas tetap menghargai proses hukum dan percaya Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum bukan kekuasaan.

Nama Anas terseret usai kasus korupsi oleh mantan bendahara partai demokrat Nazaruddin terembus. KPK terlebih dahulu mencium dugaan suap Nazaruddin dalam pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. 

Nazaruddin ditetapkan tersangka sejak 4 Juni 2011, namun melarikan diri hingga tertangkap di Cartagena, Kolombia pada 6 Agustus 2011. Nazaruddin terbukti bersalah menerima komisi 13 persen atau sejumlah Rp 25 miliar yang baru diterima sejumlah Rp 4,3 miliar. 

Dia kemudian menjalani sidang perdana pada 16 November 2011. Dalam pembelaannya, Nazaruddin menyebutkan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet yang lain, yaitu Hambalang.

Nazaruddin menyatakan, Anas mengatur agar PT Adhi Karya menangi proyek pembangunan wisma atlet di Bogor, Jawa Barat itu. Menurut Nazaruddin, keterlibatan Anas sebagai pengatur proyek Wisma Hambalang bernilai Rp 1 triliun itu didasari oleh kebutuhan Anas untuk menyelenggarakan Kongres Partai Demokrat. Saat itu, dikatakan Anas membutuhkan sekitar Rp 100 miliar agar dapat terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

KPK Incar Anas

Pengakuan Nazaruddin lalu menguatkan KPK untuk menyelidiki Anas. Lembaga antisurah itu mendalami dugaan korupsi pada pembangunan Wisma Atlet Hambalang pada Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON)-nya.

Dalam penyelidikannya, KPK menemukan bukti-bukti bahwa Anas menerima hadiah atau gratifikasi sebesar Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya. Selain itu, Toyota Harrier seharga Rp 670 juta juga diterimanya hingga gratifikasi lainnya.

Hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Anas juga terbukti menerima suap sebesar Rp 25,3 miliar dan 36 ribu dolar AS dari Permai Grup. Sementara dari Nazaruddin, hakim menyatakan Anas terbukti menerima Rp 30 miliar dan 5,2 juta dolar AS. 

Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Anas divonis delapan tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan selama tiga bulan. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan 15 tahun penjara karena salah satu dakwaan tidak terbukti.

Tak terima dengan vonis delapan tahunnya, Anas kemudian ajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI dan menerima keringanan hukuman menjadi tujuh tahun.

Namun pada tingkat kasasi, hukuman terhadap Anas justru diperberat menjadi 14 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Anas kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasusnya. Hasilnya, hukuman Anas disunat selama enam tahun sehingga dia hanya dihukum 8 tahun penjara, kembali pada vonis awal Pengadilan Tipikor.

Dalam putusan PK, Mahkamah Agung menilai ada kekhilafan hakim dalam putusan kasasi terhadap Anas Urbaningrum. Termasuk soal pertimbangan putusan serta penerapan pasal. 

Putusan PK pada 2020 juga merevisi soal pencabutan hak politik. Hukuman tambahan diperjelas bahwa hak politik Anas dicabut selama lima tahun setelah menjalani pidana penjara.

Pada April 2023, Anas dinyatakan telah menyelesaikan masa hukuman delapan tahun tersebut. Anas bebas pada Selasa (11/4/2023) dan disambut oleh ratusan pendukungnya di depan lapas Sukamiskin Bandung.

 


Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad menilai, glorifikasi atas bebasnya Anas Urbaningrum dari Lapas Sukamiskin oleh loyalisnya tidak menghapus catatan hitam sebagai mantan narapidana korupsi.

"(Meski disambut meriah), catatan hitam yang sudah ditorehkan AU (Anas Urbaningrum) ini tidak akan pernah dihapus," kata Andriadi dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (12/3/2023).

Karena itu, masyarakat juga masih akan terus mengingat Anas Urbaningrum adalah mantan narapidana korupsi. Namun, kata Andriadi, penyambutan meriah kepada Anas ini karena sosok Anas yang memiliki latar belakang organisasi maupun partai politik. 

Anas yang pernah memimpin organisasi mahasiswa Islam terbesar yakni Ketua Umum PB HMI 1997 - 1999) maupun Ketua Umum Partai Demokrat dan organisasi lainnya.

"Menurut hemat saya sesuatu yang wajar, bila Anas Urbaningrum disambut meriah oleh loyalis atau para sahabat serta pendukungnya, mengingat background Anas Urbaningrum," ujarnya.

Namun demikian, penyambutan meriah ini tidak serta merta kemudian mengubah citra Anas Urbaningrum. Direktur Eksekutif Nusantara Institute Political Communication Studies and Research Centre (PolCom SRC) ini, citra bisa dibangun dengan catatan Anas bisa membuka lembaran positif dalam kiprah selanjutnya.

"Di tengah masyarakat bisa saja dibangun kembali dengan catatan membuka lembaran-lembaran positif pada kiprah selanjutnya, bukan kembali membuka lembaran hitam kembali. Apalagi tipe masyarat Indonesia gampang melupakan dan mudah memaafkan," katanya.

Sementara, pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai ada yang keliru dengan pendidikan antikorupsi di ranah publik saat ini. Ini disampaikannya menyusul bebasnya narapidana kasus korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum yang disambut meriah oleh para loyalisnya.

Alih-alih jera dan merasa bersalah atas perbuatannya, Anas justru dielu-elukan dan berupanya menciptakan citra barunya sebagai korban. Hal ini kata Dedi, tidak hanya Anas tetapi juga narapidana kasus korupsi lainnya.

"Itu keanehan yang harus kita alami, bahwa Anas dan banyak lagi koruptor yang jarang merasa bersalah dan malu atas perbuatannya, justru berupaya menciptakan citra sebaliknya, sebagai korban seolah ia pahlawan. Ada yang keliru dengan pendidikan anti korupsi di ranah publik kita," ujar Dedi kepada Republika, Rabu (12/4/2023).

Dedi melanjutkan, untuk kasus Anas, pengadilan tindak pidana korupsi telah menetapkan Anas terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara serta denda. Sehingga, terlepas apakah Mantan Ketua Umum Partai Demokrat dikorbankan atau tidak, yang bersangkutan terbukti melakukan korupsi.

Namun demikian, Anas tetap dinilai sebagai pahlawan bagi kelompok pendukungnya.

"Demikian politik praktis, loyalis berkerumun pada tokoh, bukan pada nilai perjuangan politik atau aib politik, banyak kasus korupsi yang tokohnya berupaya membangun citra pahlawan bagi Kelompoknya sendiri, tidak hanya Anas Urbaningrum, tetapi elite lain pun demikian," ujarnya.

Bahkan, kebebasan Anas dari jeruji besi juga disambut meriah layaknya pahlawan bagi kelompoknya. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini, penyambutan kepada Anas ini bagian propaganda politik untuk menaikkan wibawa ketokohan Anas. Hal ini karena Anas kembali mendirikan partai politik, sehingga basis pendukung loyal ini digunakan untuk menguatkan kembali wibawa Anas.

"Berbeda halnya, jika Anas tidak mendirikan partai, dan pensiun pasca menyelesaikan hukuman, besar kemungkinan tidak akan ada glorifikasi itu," ujarnya.

Namun, dia menilai, masyarakat memilih mengingat Anas dari sosoknya dibanding kasusnya ini juga bukan masyarakat umum. Mereka kata Dedi, adalah masyarakat politik yang memang terkondisikan untuk kepentingan politik, yakni menumbuhkan elitisme Anas Urbaningrum.

"Dan keterlibatan Anas dalam korupsi besar hambalang secara struktur politik bukan karena faktor politis, sehingga ia dan loyalis ya menyebut diri sebagai korban. Anas adalah pelaku karena ia terlibat sebagai legislator," katanya.

 

Vonis Artidjo Alkostar - (Infografis Republika.co.id)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler